Fenomena Perbedaan Waktu Salat Idul Fitri, di Taliabu Tiga Desa Sudah Duluan

Daerah, Headline, Taliabu478 Dilihat

Halmaherapedia— Hari Raya  Idul Fitri 2025 atau 1446 H tinggal menunggu hari. Di kalangan  kaum Muhammadiyah sudah ditetapkan   jatuh pada  Senin 31 Maret 2025. Sementara secara umum pemerintah masih melakukan rukhyatul hilal  memastikan waktunya. Keputusan pemerintah   itu,  jadi patokan perayaan  Hari Raya Idul  Fitri bagi  semua ummat  Islam di Indonesia tahun ini.  Lantas sejak kapan fenomena perbedaan waktu hari raya idul fitri tersebut? Berdasarkan  beberapa referensi seperti seperti  dikutip dari CNBC.com,  fenomena lebaran beda hari ini  bukan yang pertama. Hal ini sudah muncul dan  ada sejak zaman  kolonial Belanda.

Salah satu yang turut mencatat fenomena ini adalah orientalis dan pakar Islam asal Belanda, Snouck Hurgonje. Dalam catatan berjudul Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid VIII (1994), Snouck bercerita ada dua metode menghitung hilal peringatan 1 Syawal di masa kolonial.

Pertama, berdasarkan penanggalan dan penglihatan terhadap bulan baru atau hilal. Biasanya metode ini dilakukan orang Muslim terpelajar yang mengerti astronomi atau ilmu falak. Mereka melakukannya dengan melihat langsung datangnya bulan di langit di daerah dataran tinggi.

Sedangkan metode kedua, berdasarkan tanggalan yang ditentukan pemerintah Belanda. Tanggalan ini tanpa perhitungan khusus dan hanya menghitung hari sejak puasa hari pertama dilaksanakan.

Di masa kolonial, Snouck melihat banyak orang yang mengikuti metode pertama. Jika sekarang perhitungan secara empiris atau rukyat dilakukan dengan ketentuan-ketentuan, seperti ketinggian bulan sekian derajat, maka di masa kolonial tidak demikian.

Pengamat atau saksi hanya perlu melihat bulan saja. Apabila sudah melihat, maka akan divalidasi. Hasil validasi  inilah  akan dikirim ke pemerintah kolonial untuk ditetapkan sebagai 1 Syawal.

Namun, akibat di tiap wilayah Indonesia memiliki perbedaan ketinggian, sudah pasti akan berbeda hasilnya. Di wilayah tertentu bulan sudah terlihat, tetapi tidak di wilayah lain. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20230418185024-4-431170/lebaran-beda-hari-ternyata-udah-dari-dulu-ini-sejarahnya)

Tiap tahun, umat Islam di Indonesia kerap menghadapi  perbedaan 1 Syawal dalam penentuan Idul Fitri. Fenomena ini tergolong unik karena di banyak negara  penentuan 1 Syawal biasanya mengikuti otoritas keagamaan tunggal.

Namun,  di Indonesia, perbedaan metode penghitungan—antara  rukyatul hilal (melihat bulan) dan hisab (perhitungan astronomi)—sering kali menghasilkan perbedaan waktu perayaan Idul Fitri.( https://unhas.tv/perbedaan-awal-idul-fitri-fenomena-unik-yang-hanya-terjadi-di-indonesia/2)

Prof  KH Najmuddin  Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam  Makassar  belum lama ini menjelaskan,  perbedaan ini berakar pada interpretasi dalil  agama masing-masing.  Sejak zaman Nabi, hilal menjadi dasar penentuan awal bulan. Ada tiga hadis yang menegaskan kewajiban melihat bulan.  Namun, kemajuan ilmu astronomi memungkinkan manusia menghitung posisi hilal dengan akurat, meskipun metode rukyat masih dipertahankan.

Metode hisab yang digunakan ormas Muhammadiyah cenderung lebih modern dan berbasis perhitungan matematis yang presisi. Sementara itu, Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah melalui Kementerian Agama mengombinasikan metode rukyat dan hisab dalam sidang isbat. Akibatnya, dari kedua metode tersebut sering kali terjadi perbedaan, terutama jika posisi hilal berada dalam ambang batas yang diperdebatkan.

Di  Indonesia  ada  109 titik rukyat resmi yang tersebar di berbagai daerah. Namun, faktor cuaca sering kali menjadi kendala  saat melihat hilal.

Beberapa tahun terakhir, hilal tidak terlihat di sebagian besar wilayah Indonesia karena mendung, sementara di daerah tertentu seperti Aceh  atau Nusa Tenggara Barat, hilal dapat  disaksikan dengan jelas.

Perbedaan hasil ini menyebabkan  ketidaksepakatan dalam penetapan awal Idul Fitri.

Dalam sejarahnya, perbedaan ini sudah terjadi sejak zaman kolonial. Bahkan, pada 1950-an, pemerintah sempat mengusulkan satu sistem penanggalan Islam nasional, tetapi tidak mendapatkan kesepakatan dari berbagai organisasi Islam. Menyikapi adanya perbedaan ini, tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan. Prof. Najmuddin  menekankan pentingnya sikap toleran dalam menghadapi perbedaan metode.

“Dalam Islam, jika seorang pemimpin mengambil keputusan berdasarkan ikhtiar, maka ia tetap mendapat pahala, baik keputusannya benar maupun salah,” katanya.

Fenomena ini juga menunjukkan bahwa keberagaman dalam praktik keagamaan di Indonesia adalah bagian dari identitas bangsa. Dalam beberapa tahun terakhir, upaya penyatuan  metode terus dilakukan, seperti pertemuan ulama nasional yang mencoba mencari titik temu antara metode hisab dan rukyat agar lebih harmonis.

Selain itu, teknologi kini memainkan peran penting dalam mengurangi perbedaan ini. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengembangkan sistem pemantauan hilal berbasis teleskop digital yang memungkinkan pengamatan lebih akurat dan bisa diakses secara nasional.

Akibat perbedaan inilah, tulis Ensiklopedia Hisab Rukyat (2005), hari Lebaran juga berbeda. Meski begitu, untuk mensiasati biasanya pemerintah kolonial akan melihat suara mayoritas. Jika sekiranya bulan belum terlihat, maka libur lebaran ditambah satu hari untuk menggenapi puasa sebanyak 30 hari.

Fenomena  Hari Raya Lebih Awal di Malut

Di Ternate dan sekitarnya hingga kini belum ada yang merayakan hari raya idul fitri. Meski begitu, di Kabupaten Pulau Taliabu tepatnya di tiga desa masing- masing  Desa Kawalo, Woyo, dan Bota di   Taliabu Barat, Kabupaten Pulau Taliabu, Maluku Utara, warganya telah merayakan Idulfitri 1446 Hijriah tepat pada Sabtu, 29 Maret 2025.

Media  (tuturfakta.com)  merilis,  warga   di tiga desa tersebut telah melaksanakan Salat Idulfitri. Dua masjid di Desa Kawalo dan Woyo  dipenuhi   jemaah yang   laksanakan salat ied. Pemerintah desa setempat menyampaikan bahwa penetapan  idul fitri  mengikuti  keputusan para  tokoh kampung setempat.

Pejabat (Pj) Kepala Desa Kawalo, Sano B. Parigi menyampaikan bahwa sejak dulu, mereka mengikuti keputusan  imam dan badan syarah. Sementara Pemdes menyesuaikan dengan keputusan  tersebut. Hal ini  berlaku hanya penetapan 1 Ramadan dan Idulfitri. Dia lantas mengimbau masyarakat  menjaga kerukunan meskipun ada perbedaan dalam penetapan awal Ramadan dan Idulfitri.

Kiswanto Umasangadji, Kepala adat Desa Kawalo, bilang  masyarakat  menggunakan metode perhitungan turun- temurun dalam menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal. “Penetapan ini berdasarkan musyawarah  tokoh agama, tokoh adat, pemerintah desa, dan masyarakat. Ini tradisi  sejak lama  dari tetua adat kami,” katanya yang juga  mantan Kepala Desa Kawalo itu.

Terpisah Imam Desa Kawalo, Syarifudin Habsi, bilang,  perhitungan 1 Ramadan tahun ini jatuh pada Kamis, 27 Februari 2025. Berdasarkan konsep spiritual yang disebut hayat Allah, hayat Ahmad, dan hayat Muhammad (cahaya). “Dari perhitungan tersebut, 1 Syawal jatuh pada Sabtu, 29 Maret 2025, sehingga mereka   Salat Idulfitri  setelah genap 30 hari berpuasa,”jelasnya.(*)

 

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *