Halmaherapedia— Hari Raya Idul Fitri 2025 atau 1446 H tinggal menunggu hari. Di kalangan kaum Muhammadiyah sudah ditetapkan jatuh pada Senin 31 Maret 2025. Sementara secara umum pemerintah masih melakukan rukhyatul hilal memastikan waktunya. Keputusan pemerintah itu, jadi patokan perayaan Hari Raya Idul Fitri bagi semua ummat Islam di Indonesia tahun ini. Lantas sejak kapan fenomena perbedaan waktu hari raya idul fitri tersebut? Berdasarkan beberapa referensi seperti seperti dikutip dari CNBC.com, fenomena lebaran beda hari ini bukan yang pertama. Hal ini sudah muncul dan ada sejak zaman kolonial Belanda.
Salah satu yang turut mencatat fenomena ini adalah orientalis dan pakar Islam asal Belanda, Snouck Hurgonje. Dalam catatan berjudul Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid VIII (1994), Snouck bercerita ada dua metode menghitung hilal peringatan 1 Syawal di masa kolonial.
Pertama, berdasarkan penanggalan dan penglihatan terhadap bulan baru atau hilal. Biasanya metode ini dilakukan orang Muslim terpelajar yang mengerti astronomi atau ilmu falak. Mereka melakukannya dengan melihat langsung datangnya bulan di langit di daerah dataran tinggi.
Sedangkan metode kedua, berdasarkan tanggalan yang ditentukan pemerintah Belanda. Tanggalan ini tanpa perhitungan khusus dan hanya menghitung hari sejak puasa hari pertama dilaksanakan.
Di masa kolonial, Snouck melihat banyak orang yang mengikuti metode pertama. Jika sekarang perhitungan secara empiris atau rukyat dilakukan dengan ketentuan-ketentuan, seperti ketinggian bulan sekian derajat, maka di masa kolonial tidak demikian.
Pengamat atau saksi hanya perlu melihat bulan saja. Apabila sudah melihat, maka akan divalidasi. Hasil validasi inilah akan dikirim ke pemerintah kolonial untuk ditetapkan sebagai 1 Syawal.
Namun, akibat di tiap wilayah Indonesia memiliki perbedaan ketinggian, sudah pasti akan berbeda hasilnya. Di wilayah tertentu bulan sudah terlihat, tetapi tidak di wilayah lain. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20230418185024-4-431170/lebaran-beda-hari-ternyata-udah-dari-dulu-ini-sejarahnya)
Tiap tahun, umat Islam di Indonesia kerap menghadapi perbedaan 1 Syawal dalam penentuan Idul Fitri. Fenomena ini tergolong unik karena di banyak negara penentuan 1 Syawal biasanya mengikuti otoritas keagamaan tunggal.
Namun, di Indonesia, perbedaan metode penghitungan—antara rukyatul hilal (melihat bulan) dan hisab (perhitungan astronomi)—sering kali menghasilkan perbedaan waktu perayaan Idul Fitri.( https://unhas.tv/perbedaan-awal-idul-fitri-fenomena-unik-yang-hanya-terjadi-di-indonesia/2)
Prof KH Najmuddin Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam Makassar belum lama ini menjelaskan, perbedaan ini berakar pada interpretasi dalil agama masing-masing. Sejak zaman Nabi, hilal menjadi dasar penentuan awal bulan. Ada tiga hadis yang menegaskan kewajiban melihat bulan. Namun, kemajuan ilmu astronomi memungkinkan manusia menghitung posisi hilal dengan akurat, meskipun metode rukyat masih dipertahankan.
Metode hisab yang digunakan ormas Muhammadiyah cenderung lebih modern dan berbasis perhitungan matematis yang presisi. Sementara itu, Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah melalui Kementerian Agama mengombinasikan metode rukyat dan hisab dalam sidang isbat. Akibatnya, dari kedua metode tersebut sering kali terjadi perbedaan, terutama jika posisi hilal berada dalam ambang batas yang diperdebatkan.
Di Indonesia ada 109 titik rukyat resmi yang tersebar di berbagai daerah. Namun, faktor cuaca sering kali menjadi kendala saat melihat hilal.
Beberapa tahun terakhir, hilal tidak terlihat di sebagian besar wilayah Indonesia karena mendung, sementara di daerah tertentu seperti Aceh atau Nusa Tenggara Barat, hilal dapat disaksikan dengan jelas.
Perbedaan hasil ini menyebabkan ketidaksepakatan dalam penetapan awal Idul Fitri.
Dalam sejarahnya, perbedaan ini sudah terjadi sejak zaman kolonial. Bahkan, pada 1950-an, pemerintah sempat mengusulkan satu sistem penanggalan Islam nasional, tetapi tidak mendapatkan kesepakatan dari berbagai organisasi Islam. Menyikapi adanya perbedaan ini, tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan. Prof. Najmuddin menekankan pentingnya sikap toleran dalam menghadapi perbedaan metode.
“Dalam Islam, jika seorang pemimpin mengambil keputusan berdasarkan ikhtiar, maka ia tetap mendapat pahala, baik keputusannya benar maupun salah,” katanya.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa keberagaman dalam praktik keagamaan di Indonesia adalah bagian dari identitas bangsa. Dalam beberapa tahun terakhir, upaya penyatuan metode terus dilakukan, seperti pertemuan ulama nasional yang mencoba mencari titik temu antara metode hisab dan rukyat agar lebih harmonis.
Selain itu, teknologi kini memainkan peran penting dalam mengurangi perbedaan ini. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengembangkan sistem pemantauan hilal berbasis teleskop digital yang memungkinkan pengamatan lebih akurat dan bisa diakses secara nasional.
Akibat perbedaan inilah, tulis Ensiklopedia Hisab Rukyat (2005), hari Lebaran juga berbeda. Meski begitu, untuk mensiasati biasanya pemerintah kolonial akan melihat suara mayoritas. Jika sekiranya bulan belum terlihat, maka libur lebaran ditambah satu hari untuk menggenapi puasa sebanyak 30 hari.
Fenomena Hari Raya Lebih Awal di Malut
Di Ternate dan sekitarnya hingga kini belum ada yang merayakan hari raya idul fitri. Meski begitu, di Kabupaten Pulau Taliabu tepatnya di tiga desa masing- masing Desa Kawalo, Woyo, dan Bota di Taliabu Barat, Kabupaten Pulau Taliabu, Maluku Utara, warganya telah merayakan Idulfitri 1446 Hijriah tepat pada Sabtu, 29 Maret 2025.
Media (tuturfakta.com) merilis, warga di tiga desa tersebut telah melaksanakan Salat Idulfitri. Dua masjid di Desa Kawalo dan Woyo dipenuhi jemaah yang laksanakan salat ied. Pemerintah desa setempat menyampaikan bahwa penetapan idul fitri mengikuti keputusan para tokoh kampung setempat.
Pejabat (Pj) Kepala Desa Kawalo, Sano B. Parigi menyampaikan bahwa sejak dulu, mereka mengikuti keputusan imam dan badan syarah. Sementara Pemdes menyesuaikan dengan keputusan tersebut. Hal ini berlaku hanya penetapan 1 Ramadan dan Idulfitri. Dia lantas mengimbau masyarakat menjaga kerukunan meskipun ada perbedaan dalam penetapan awal Ramadan dan Idulfitri.
Kiswanto Umasangadji, Kepala adat Desa Kawalo, bilang masyarakat menggunakan metode perhitungan turun- temurun dalam menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal. “Penetapan ini berdasarkan musyawarah tokoh agama, tokoh adat, pemerintah desa, dan masyarakat. Ini tradisi sejak lama dari tetua adat kami,” katanya yang juga mantan Kepala Desa Kawalo itu.
Terpisah Imam Desa Kawalo, Syarifudin Habsi, bilang, perhitungan 1 Ramadan tahun ini jatuh pada Kamis, 27 Februari 2025. Berdasarkan konsep spiritual yang disebut hayat Allah, hayat Ahmad, dan hayat Muhammad (cahaya). “Dari perhitungan tersebut, 1 Syawal jatuh pada Sabtu, 29 Maret 2025, sehingga mereka Salat Idulfitri setelah genap 30 hari berpuasa,”jelasnya.(*)