Cak Londo dan Bahasa Daerah di Malut yang Terancam Punah

banner 468x60

Catatan Kecil untuk Isyu yang Terpinggirkan 

Sebuah video berisi percakapan bule asal Australia dengan seorang warga Jepang viral di media social. Video itu sempat  dikirim ke  salah satu WhatsApp Grup (WAG) di hand phone saya. Keduanya    bercakap cakap tidak menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Mereka berbahasa Jawa layaknya orang Jawa dengan dua aksen berbeda. Bule berpaspor Australia berbahasa Jawa logat Surabaya sementara lawan bicaranya yang warga Negara Jepang berbahasa Jawa medok Jogjakarta.

banner 336x280

Bule Australia itu memiliki nama akun media social Londo Kampung atau Cak Dave  dan bernama asli David Andrew Jephcott. Sementara warga yang berkebangsaan Jepang itu bernama Naohiro Katsumata. Cak Dave tinggal di Surabaya  hingga  sekarang,  sementara satunya lagi  kurang lebih 16 tahun tinggal di Jogjakarta dan kini telah pulang ke Jepang dan  menetap di Tokyo.

Apa yang menarik dari video ini?

Percakapan kedua warga Negara asing ini menjadi contoh betapa perlunya belajar bahasa daerah. Keduanya dengan fasih menggunakan bahasa Jawa. Layaknya suku asli  Jawa.   Video ini  bagi saya harusnya menyengat gerakan kesadaran kita  tentang perlunya mempertahankan bahasa ibu/daerah.

Percakapan keduanya mengingatkan kita pada isyu bahasa- bahasa daerah di Malut yang terancam punah. Maluku Utara dengan kekayaan bahasa dan budayanya, kini menghadapi ancaman serius dengan peradabannya. Terutama dalam soal bahasa. Bahasa sebenarnya tidak hanya sebagai sebuah alat  komunikasi antarsesama.  Lebih dari itu dia adalah indetitas budaya, penjaga tradisi,   pendukung bahasa nasional hingga  media ekspresi seni.

Memang  isyu bahasa dalam perkembangan kehidupan masyarakat terutama di Maluku Utara seperti bukan masalah besar.  Padahal bahasa memiliki korelasi dengan peradaban suatu individu, kelompok dan bangsa serta ummat.  Untuk menjaga bahasa daerah  di Maluku Utara ini tetap awet, maka salah satu cara ampuhnya adalah dengan mempercakapkan.

Dari kurang lebih 19 bahasa  berdasarkan catatan Balai Bahasa Maluku Utara, jika tidak direvitalisasi  dengan cara dipercakapkan, maka kelestarian  dan keawetannya cepat atau lambat tergerus. Jika sudah begitu kejadiannya, dalam beberapa waktu ke depan akan tersapu bersih  lalu  hilang tak berbekas.

Pada Juni 2024, Kantor Bahasa Maluku Utara sempat merilis bahasa- bahasa daerah di  Maluku Utara  yang terancam punah.  Penyebabnya beragam.  Dari factor keluarga, hingga  makin jarangnya  pelajaran bahasa daerah  di sekolah. Kondisi ini maka diperlukan  revitalisasi  bahasa  daerah yang dimulai dari rumah. Rumah menjadi tangga pertama menjaga warisan budaya  tersebut, sekaligus menggali kearifan lokal di masyarakat.

Dari  bahasa daerah yang mayoritas statusnya diambang kepunahan,  benar benar berada di ambang kepunahan adalah Bahasa Bacan, Bahasa Kadai di Taliabu,  Bahasa Makian Dalam, Bahasa Sawai dan Bahasa Ternate.

Yang menarik dari ancaman kepunahan lima bahasa itu dua di antaranya adalah bahasa dua kesultanan yang secara literasi mengisi berbagai percakapan dan tradisi lisan.    Bahasa dua “Negara” di zamannya itu, kini masuk kategori terancam  punah.

Apa yang diungkap Kantor Bahasa ini sebenarnya tidak berlebihan, karena memang dalam praktik berbahasa sehari- hari begitulah adanya. Sebuah contoh nyata dilihat di Ternate. Bisa ditelisik berapa banyak orang yang mengklaim sebagai asli orang Ternate,  tetapi tidak bisa berbahasa Ternate.

Di Utara Kota Ternate sampai ke kecamatan Pulau Ternate yang masih ketat menjaga bahasa Ternate dengan mempercakapakannya,  kini perlahan mulai tergerus. Di kalangan anak -anak maupun remaja, tidak terdengar lagi mereka bercakap menggunakan bahasa Ternate. Di  kelurahan dan kampung yang dulu warganya kental berbahasa Ternate, kini nyaris tidak terdengar lagi. Mereka yang bercakap menggunakan bahasa Ternate hanya di kalangan orang tua. Karena itu kekuatiran akan ancaman kepunahan bahasa saat ini bukan sebuah kebetulan.

Lebih miris lagi jika dilihat penutur bahasa Bacan. Selain sudah semakin berkurang,  anak muda juga hamper tak lagi bercakap dalam bahasa Bacan dengan orang tua atau di ruang ruang terbuka. Jika kita ke Bacan dan mendatangi beberapa kampung yang diklaim sebagai wilayahnya  orang orang Bacan,  nyaris tidak lagi terdengar ungkapan ungkapan dalam bahasa Bacan. Rata- rata  warga menggunakan bahaya Indonesia/Malayu Ternate.

Kondisi ini membutuhkan perhatian semua pihak, untuk mengembalikan “girah” berbahasa daerah. Terutama  yang disebut sebut menghadapi ancaman kepunahan saat ini.

Konservasi Bahasa Daerah di Indonesia

Badan Riset dan Inovasi Indonesia (BRIN) menyebutkan bahwa  Indonesia adalah negara yang kaya akan bahasa daerah. Tercatat ada 726 bahasa yang masih digunakan hingga saat ini.  Namun, demikian banyak di antaranya mengalami kemunduran akibat berbagai faktor, seperti pemekaran wilayah, migrasi penduduk, dan dominasi bahasa mayoritas.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menekankan pentingnya konservasi dan revitalisasi bahasa daerah agar tidak mengalami kepunahan. Dalam The 2nd International Conference on Language and Literature Preservation (ICLLP 2025), Kamis (20/02/2025),  yang digelar  di Kantor BRIN Gatot Subroto, Jakarta oleh Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) BRIN  dan berkolaborasi dengan Suluh Insan Lestari dan Summer Institute of Linguistics (SIL International), diungkap beberapa hasil riset berkaitan dengan  perlunya konservasi bahasa  yang perlu segera dilakukan.

Dalam sesi panel “Dokumentasi, Deskripsi, dan Konservasi Bahasa oleh  Zainal Abidin, peneliti PR PBS BRIN, disampaikan hasil risetnya tentang pergeseran bahasa pada komunitas  Duanu di Riau, khususnya di Kecamatan Kateman. Suku Duanu, menemukan bahwa  bahasa ini yang awalnya merupakan komunitas suku laut, mengalami perubahan sosial dan budaya setelah mereka dipindahkan ke pemukiman tetap akibat kebijakan pemekaran wilayah.

Akibat perubahan ini, mereka beradaptasi dengan kehidupan di darat dan berinteraksi dengan kelompok masyarakat lain yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa utama. Akibatnya, penggunaan bahasa  Duanu semakin berkurang, karena masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari

Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa vitalitas bahasa Duanu saat ini berada dalam kondisi terancam, dengan indeks keberlanjutan sebesar 0,35. Beberapa indikator seperti jumlah penutur, dominasi bahasa, sikap masyarakat terhadap bahasa daerah, dan dokumentasi menunjukkan adanya kemunduran signifikan.

Salah satu faktor utama yang mempercepat pergeseran ini adalah anggapan bahwa menggunakan bahasa Duanu  dapat menimbulkan stigma sosial sehingga masyarakat cenderung mengajarkan bahasa Melayu kepada generasi muda.

Selain itu, preferensi para orang tua untuk menggunakan bahasa Indonesia adalah agar dapat memperoleh pendidikan yang tinggi dan layak. Oleh karena itu, diperlukan upaya konkret  dalam merevitalisasi bahasa Duanu agar tidak semakin tergerus oleh zaman.

Rissari Yayuk, Peneliti PR PBS BRIN yang mengkaji peran leksikon peralatan dapur dalam peribahasa Banjar. Peribahasa Banjar yang mengandung kearifan lokal dan filosofi hidup, kini semakin jarang digunakan, terutama oleh generasi muda. Kajian ini menunjukkan bahwa terdapat 23 leksikon peralatan dapur yang digunakan dalam 40 peribahasa Banjar, yang menggambarkan kondisi sosial, karakter manusia, dan kehidupan sehari-hari.

Karena perubahan pola komunikasi dan modernisasi, penggunaan peribahasa ini semakin berkurang dan dikhawatirkan akan hilang dalam beberapa generasi mendatang, jika tidak dilakukan upaya pelestarian.   Leksikon peralatan dapur berperan sebagai pembentuk makna metafora dalam peribahasa Banjar yang disesuaikan dengan representasi pengetahuan masyarakat Banjar. Dalam bidang linguistik deskriptif, Deni Karsana, Peneliti PR PBS BRIN meneliti struktur frasa dalam bahasa Lauje, sebuah bahasa yang masih minim dokumentasi.  Melalui pendekatan analisis sintaksis dan semantik, penelitian ini mengidentifikasi pola tata bahasa dan hubungan antarkata dalam bahasa Lauje. Studi ini menemukan adanya pola frasa endosentris dan eksosentris  yang membentuk struktur kalimat bahasa Lauje, dengan klasifikasi berdasarkan jenis kata, seperti nomina, verba, adjektiva, dan numerali.

Kajian ini menjadi langkah awal memahami bahasa Lauje lebih mendalam serta menyediakan dasar bagi penelitian lanjutan untuk dokumentasi dan konservasi bahasa tersebut. Dari berbagai penelitian ini, tampak jelas bahwa tantangan dalam konservasi bahasa  daerah tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik, tetapi juga faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Dominasi bahasa mayoritas, stigma sosial terhadap bahasa daerah, serta kurangnya dokumentasi menjadi faktor utama yang mempercepat kemunduran berbagai bahasa daerah di Indonesia.

Penulis: Mahmud Ichi/ Orang Gane Tinggal di Ternate  

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *