Halmaherapedia— Konflik agraria di kota Ternate terbilang sangat serius. Hal ini jika tidak ditangani akan menimbulkan konflik serius. Konflik kepemilikan lahan di kawasan Ubo-Ubo, Kayu Merah, dan Bastiong Karance misalnya adalah masalah di depan mata yang butuh penanganan komprehensive. Menyikapi hal ini Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ternate menggelar dialog publik bertema “Urgensi Sengketa Lahan Antara Polda dan Masyarakat: Bagaimana Jalan Keluarnya?” Kegiatan yang digelar Sabeba coffie, Jln Hasan Esa,Ternate Tengah. Pada Senin (28/7/2025) itu turut menghadirkan sejumlah pihak berkompeten seperti Pemkot Ternate dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sayangnya kedua institusi yang punya peran kunci dalam soal agraria di Ternate tidak hadir dengan alasan yang tidak jelas.
Klaim Sertifikat vs Realitas Lapangan
Dalam diskusi itu terungkap beberapa hal menyangkut akar masalah dari konflik agraria yang ada. Kasus Ubo-ubo misalnya akar masalah bermula dari sertifikat Hak Pakai atas nama Polri yang diterbitkan sejak 1989. Sertifikat tersebut diklaim menjadi dasar kepemilikan lahan oleh Polda Malut. Namun, di sisi lain, warga telah mendiami, mengelola, bahkan membayar pajak atas lahan tersebut selama puluhan tahun.
“Bagi PMII, ini bukan sekadar sengketa administrasi, tetapi persoalan keadilan substantif. Ketidakhadiran Pemkot dan BPN menghambat transparansi data kepemilikan dan memperpanjang potensi konflik sosial,”kata Safria Sula Ketua PMII Kota Ternate.
Sementara Ketua LBH Ansor Kota Ternate, Zulfikran A. Bailussy, menyoroti absennya Sekda Kota Ternate dan perwakilan BPN.Mereka memegang peranan kunci dalam penyelesaian sengketa. Zulfikran menilai komitmen Pemkot Ternate soal tukar guling itu butuh kejelasan.
“Mereka harusnya hadir dan menjelaskan bahwa mengambil langkah tukar guling atau ruislag lahan. Pertanyaannya sekarang, apakah itu benar-benar komitmen, atau sekadar wacana yang diucapkan untuk meredam polemik” cecar Zulfikran.
Jika pemerintah yakin pada upaya tukar guling mereka harusnya hadir dan menjelaskan kepada publik misalnya melalui dialog ini. Bahwa ada langkah yang diambil dan itu harus transparan. Rencana itu hanya akan menjadi janji kosong yang berpotensi memperkeruh suasana, dan akan menjadi siklus wacana yang berulang dari masa pemerintahan yang lalu.
Potensi Konflik Sosial Mengintai
Baik PMII maupun LBH Ansor sama-sama mengingatkan ke Pemkot maupun instansi yang punya kewenangan soal agraria bahwa konflik agraria ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ketidakpastian hukum, apalagi jika diiringi pengabaian terhadap suara warga, berpotensi memicu eskalasi protes di lapangan.
“Negara punya kewajiban melindungi rakyatnya, bukan membiarkan mereka hidup dalam ketidakpastian hak atas tanah yang sudah mereka diami puluhan tahun”, pungkasnya.
Safria Sula, Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII Cab Ternate) menyatakan forum itu diharapkan menjadi ruang pertemuan antara pemegang kewenangan, akademisi, dan warga untuk mencari solusi atas persoalan yang sudah mengendap puluhan tahun. Namun disesalkan karena narasumber kunci tidak hadir.
“Empat narasumber telah kami undang yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ternate, Pemerintah Kota Ternate, akademisi hukum, dan perwakilan warga terdampak. Namun, saat pelaksanaan, hanya akademisi hukum dan warga yang hadir “, ujarnya.
Bagi PMII Cabang Ternate, ketidakhadiran itu bukan sekadar absen administratif, melainkan indikasi lemahnya keberpihakan dan keberanian institusi terkait berhadapan dengan masyarakat.
“Ini forum akademik dan sosial mencari solusi, bukan ajang saling menyalahkan. Tapi yang punya kewenangan tidak hadir. Padahal publik butuh kejelasan,’katanya.(aji/arsi)