Halmaherapedia— Berdasarkan data yang termuat dalam dokumen Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (Ranwal- RPJMD) Provinsi Maluku Utara tahun 2025-2029, Nilai Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan (PDRB ADHK) Provinsi Maluku Utara pada tahun 2024 sebesar Rp. 55,15 trilyun. Nilai ini mengalami pertumbuhan sebesar 13,37 persen. Dari angka ini, Maluku Utara merupakan provinsi dengan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi setelah Provinsi Papua Barat (20,80 persen) disusul Provinsi Sulawesi Tengah (9,89 persen). Hanya saja, angka pertumbuhan ekonomi itu menunjukan trend mulai menurun. Hal ini jika dibandingkan dengan tren laju pertumbuhan tahun 2023 sebesar 20,49 persen. Artinya ada 7 persen lebih angka pertumbuhan ekonomi Malut mengalami penurunan.
Berdasarkan dokumen Ranwal RPJMD penurunan ini disebabkan ada sejumlah faktor utama yang saling terkait. Salah satu yang menjadi penyebab adalah melambatnya aktivitas hilirisasi nikel, penurunan ekspor barang dan jasa, keterbatasan daya beli masyarakat serta ketergantungan pada sektor primer. Ada satu hal lagi yang ditengarai menjadi pemicu penting adalah adanya isu lingkungan hidup dan bencana alam yang melanda. Pemerintah Provinsi Maluku Utara dalam pemaparan rancangan awal pada April lalu menyebutkan bahwa, beberapa factor ini menjadi pemicu dari menurunnya laju pertumbuhan ekonomi tersebut.
Kepala Bappeda Provinsi Maluku Utara Dr Sarmin S Adam menyampaikan, terkait tren penurunan pertumbuhan ekonomi saat ini, maka sudah perlu memikirkan masalah ini tidak hanya mengharapkan nikel menjadi salah satu andalan pendongkrak pertumbuhan ekonomi Maluku Utara. Hal ini bisa tergambar dari penyebab mulai menurunnya laju pertumbuhan ekonomi saat ini. Hanya saja saat dikonfirmasi balik soal poin poin penyebab melambatnya pertumbuhan ekonomi terutama factor lingkungan hidup dan bencana alam hingga berita ini dipublikasikan tidak ditanggapi secara serius. Daftar pertanyaan yang dikirimkan via whats App, tidak ada balasan.
Masih berdasarkan isi dokumen tersebut, Perekonomian Maluku Utara berdasarkan PDRB ADHK dari sisi permintaan, kontributor laju pertumbuhan tertinggi pada tahun 2024 adalah Lapangan Usaha Pengadaan Listrik dan Gas sebesar 27,22 persen, disusul Lapangan Usaha Industri Pengolahan sebesar 24,69 persen dan Lapangan Usaha Jasa Keuangan dan Asuransi sebesar 16,02 persen.
Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang tinggi dari provinsi lain, namun secara nasional kontribusi terhadap perekonomian nasional relatif masih sangat kecil. Pada 2024, PDRB ADHB Provinsi Maluku Utara sebesar Rp. 95,79 trilyun baru mampu berkontribusi 0,43 persen terhadap total PDRB ADHB secara nasional yang telah mencapai Rp. 22.138 trilyun, dan menempati peringkat ke-30 dari 38 provinsi, kontributor di atas Provinsi Papua (0,39 persen), Provinsi Papua Barat (0,35 persen), Provinsi Sulawesi Barat (0,29 persen), Provinsi Maluku (0,28 persen), Provinsi Gorontalo (0,25 persen), Provinsi Papua Barat Daya (0,17 persen), Provinsi Papua Selatan (0,15 persen) dan Provinsi Papua Pegunungan (0,12 persen). Meskipun demikian, kontribusi PDRB ADHB Provinsi Maluku Utara terhadap akumulasi PDRB ADHB Indonesia berkecenderungan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Khairun Ternate Dr Asis Hasyim pada Halmaherapedia.com Selasa (3/6/2025) menyampaikan bahwa masalah ini sejak awal dia sudah disampaikan kepada pemerintah agar tidak terjebak pada tingkat pertumbuhan ekonomi yg tinggi di awal-awal investasi, terkait kebijakan hilirisasi nikel. Pasalnya, dengan aliran sumberdaya yang dibutukan untuk masuk ke Malut yang dicatatkan sebagai komponen ekonomi, sudah tentu akan mendorong growth atau pertumbuhan yang semakin tinggi. Menurut dosen bidang perencanaan wilayah ini, dalam perjalanannya kontribusi bidang ini perlahan mengalami penurunan dan lambat laun tidak menunjukkan perkembangan ekonomi yang positif.
“Fenomena ini telah digambarkan sebagai natural resource curse (kutukan sumberdaya alam). Resource Curse merupakan feedback (umpan balik) negatif yang timbul akibat menurunnya kualitas lingkungan hidup dan berbagai bencana,” katanya.
Dia bilang lagi, kondisi ini terjadi akibat dari ekstraksi sumberdaya alam telah melampaui threshold atau ambang batas . Jadi fenomena kerusakan lingkungan dan becana memang memberikan dampak bagi laju pertumbuhan ekonomi. “Begitu juga sebaliknya perbaikan terhadap lingkungan yang baik akan memberikan dampak positif bagi perekonomian,” katanya. (aji/edit)