Penulis dr. Liasari Armaijn, MKes
Mahasiswa Program Doktor FKM Universitas Hasanudin
Konflik dalam organisasi adalah ketidaksesuaian antara dua individu atau lebih yang timbul karena perbedaan tujuan, nilai, persepsi, atau kepentingan dalam mencapai tujuan organisasi. Konflik dalam organisasi merupakan fenomena yang tidak terhindarkan seiring dengan kompleksitas struktur, peran, dan tujuan yang ada. Konflik juga bisa terjadi jika terdapat perbedaan pandangan, kepentingan, maupun nilai antar individu atau kelompok.
Meskipun sering dianggap negatif, konflik yang dikelola dengan baik dapat menjadi pendorong inovasi dan peningkatan kinerja organisasi. Sebaliknya, konflik yang tidak terselesaikan dapat menghambat produktivitas dan menciptakan ketegangan antarindividu atau kelompok dalam organisasi. Oleh karena itu, pemahaman terhadap strategi dan pendekatan resolusi konflik sangat penting bagi setiap individu yang terlibat dalam organisasi.
Menurut teori konflik dari Robbins (2001), konflik dapat terjadi karena perbedaan tujuan, persepsi, atau nilai di antara individu atau kelompok dalam organisasi. Konflik ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat mengganggu proses pembelajaran dan menciptakan ketegangan psikologis, baik pada mahasiswa maupun dosen. Namun, Robbins juga menekankan bahwa konflik tidak selalu berdampak negatif; konflik fungsional dapat meningkatkan inovasi dan memperbaiki proses.
Konflik di lingkungan Fakultas Kedokteran juga merupakan hal yang tidak dapat dihindari, mengingat kompleksitas interaksi antar individu dengan latar belakang, kepentingan, dan peran yang berbeda. Interaksi antara berbagai sumber daya manusia yang terdiri dari dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan dan stakeholder terkait merupakan salah satu sumber potensi dalam organisasi fakultas.
Salah satu contoh konflik yang sering terjadi adalah antara dosen dengan mahasiswa, khususnya terkait evaluasi akademik atau metode pembelajaran. Misalnya, mahasiswa merasa bahwa sistem evaluasi pembelajaran yang terlalu subyektif dan tidak transparan, sedangkan menurut dosen penilaian tersebut telah mencerminkan kompetensi secara holistik berdasarkan observasi langsung.
Ada juga mahasiswa yang merasa dosen tidak memenuhi standar pembelajaran misalnya sering absen dan materi perkuliahan yang tidak relevan, sementara di sisi lain dosen merasa mahasiswa kurang aktif atau tidak disiplin.
Strategi penyelesaian konflik ini dapat dilakukan melalui pendekatan kolaboratif (collaborative conflict resolution), yaitu dengan mempertemukan kedua pihak dalam forum dialog terbuka yang difasilitasi oleh pihak netral, misalnya Wakil Dekan Bidang Akademik.
Dalam forum tersebut, mahasiswa dapat menyampaikan keberatan atau aspirasi secara konstruktif, dan dosen diberikan kesempatan untuk menjelaskan rasionalitas metode evaluasi. Pendekatan ini sejalan dengan model resolusi konflik menurut Thomas dan Kilmann (1974), yang merekomendasikan gaya kolaboratif untuk mencapai solusi win-win.
Sebagai tindak lanjut, fakultas bersama program studi dapat melakukan evaluasi independen yang secara berkala mengkaji keadilan dan transparansi sistem penilaian dan kinerja dalam proses pembelajaran. Bentuk evaluasi dapat melalui audit mutu internal oleh Unit Penjaminan Mutu (UPM) fakultas atau Gugus Penjaminan Mutu (GPM) program studi.
Mekanisme ini disosialisasikan kepada semua pihak terkait termasuk dosen dan mahasiswa pada saat perkuliahan akan dimulai atau secara berkesinambungan dalam laman resmi fakultas. Dengan demikian, konflik dapat dikelola menjadi peluang untuk perbaikan sistem pendidikan kedokteran yang lebih adil, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan dosen dan mahasiswa.(*)