512 Kasus Kecelakaan Kerja di Perusahaan Tambang

DPR RI: Perketat Pengawasan, Perusahaan Wajib Naikan Upah Buruh Tambang

Headline, Nasional1910 Dilihat

Halmaherapedia-  Data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Malut di tahun 2025 menunjukkan terdapat ada 512 kasus kecelakaan kerja terjadi di Malut. Dari jumlah tersebut perusahaan tambang mendominasi angka kecelakaan kerja. Soal ini juga mengemuka dalam kegiatan reses Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Maluku Utara pada Senin (11/8/2025).  Mereka menyoroti masalah kecelakaan kerja di perusahaan tambang Maluku Utara (Malut).

Komisi IX DPR RI dalam reses di Maluku Utara dipimpin  Ketua Timnya  Obon Tabroni usai rapat bersama Gubernur Malut Sherly Tjoanda  di Bela International Hotel menyatakan, kasus kecelakaan kerja yang meningkat di Malut saat ini maka perusahaan wajib mensosialisasikan  terkait Kesehatan dan Keselamatan Kerj (K3). Tujuannya,  untuk  memastikan metode kerja yang sesuai.

Menurutnya,  kecelakaan kerja itu bisa terjadi lantaran berbagai faktor, seperti kelalaian dari pekerja, kemudian bisa metode kerja yang tak sesuai maupun masalah mesin atau alat yang digunakan saat kerja. “Bicara K3 ini banyak aspek yang harus dibenahi. Perusahaan bertanggung jawab soal itu,” tukasnya.

Terkait keselamatan kerja atau K3, DPR RI berencana untuk merevisi kembali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kesehatan Kerja.  UU tersebut sudah 60 tak ada perubahan, padahal  regulasi yang terbit sejak 1970 itu sudah tak sezaman dengan situasi hari ini. Karena itu  ada beberapa hal yang akan direvisi, terutama soal sanksi bagi perusahaan yang lalai menerapkan normal K3 atau  keselamatan buruh. “UU ini sudah kadaluwarsa jadi akan direvisi,” ujarnya usai rapat bersama Gubernur.

Selain keselamatan kerja DPR juga  menyoroti  upah buruh Industri tambang Malut. Menurutnya di Malut ada masalah mendasar, adalah upah bagi buruh yang tak sesuai  kerja yang diemban. Ada dis paritas yang tinggi. Semisal pemberiaan upah minimum perusahaan tambang yang disamakan dengan upah perusahaan non tambang. Padahal dari aspek keselamatan buruh tambang cenderung mengalami kecelakaan kerja lebih tinggi.

“Kami minta  perusahaan  mampu wajib memberikan upah yang layak. Jangan di angka Rp 7 juta. Upah buruh tambang tak bisa disamakan dengan perusahaan ikan,” tegasnya.

Dia minta minta Pemprov wajib  mengawasi màsalah kecelakaan kerja maupun upah para buruh. Karena Pemprov maupun Pemerintah Daerah (Pemda) berkewajiban mengawasi dan memberikan atensi bila perusahaan tidak menaati aturan. “Pemprov maupun Pemda harus proaktif. Kalau perlu tim pengawasnya ditambah. Supaya kinerjanya maksimal,”pungkasnya.(aji/adil)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *