Perlukah Perda Tanah Adat?

Konflik Agraria Tinggi, Gugus Tugas GTRA Tak Berfungsi  

Daerah, Headline816 Dilihat

Halmaherapedia- Konflik agraria  di Maluku Utara seiring masuknya investasi di bidang tambang  masive terjadi. Di wilayah-wilayah yang masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) maupun yang ada mineralnya  dan ada Izin Usaha Pertambangan (IUP), muncul berbagai kasus diikuti tindakan kriminalisasi.

Terbaru kasus yang menimpa 11 warga masyarakat adat Maba Sangaji Halmahera Timur yang menggelar aksi mempertahakan hutan, sungai dan tanahnya dari perusahaan tambang PT Position kini  harus mendekam di penjara. Di tengah meningkatnya kasus, peran Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di Provinsi dan Kabupaten di Maluku Utara juga tak terdengar.

Sementara Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI merespon  dengan mengusulkan pemerintah daerah menyiapkan Perda yang mengatur tentang tanah adat. Hal ini disampaikan dalam agenda kunjungan  kerja masa reses persidangan ke-IV tahun sidang 2024-2025  dalam rapat bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Malut bersama  para Kepala Daerah dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota se-Malut  di Bella International Hotel, Senin (28/7).

Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyatakan, jika ada tanah adat yang  belum diperdakan,  agar Pemda  membuat Peraturan  Daerah (Perda). Hal itu bisa dijadikan dasar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN)  sebagai alas hak menjamin tanah adat  milik warga dapat dilindungi .  “Kalau sudah ada alas haknya tentu konflik demikian tidak akan terjadi. Sebaliknya jika terjadi konflik bisa saja ada upaya diselesaikan dengan mediasi  secara  baik-baik,” katanya  usai pertemuan bersama Gubernur Malut.

Dia bilang  konflik agraria yang terjadi selama ini karena di mata negara belum ada alas hak atau legalistik formal. Karena itu Gugus Tugas Reformasi Agraria (GTRA) yang ada di Provinsi dan kabupaten harus mengambil kebijakan serius   melindungi tanah masyarakat  di Malut. “GTRA ini dibentuk oleh negara untuk menyelesaikan masalah agraria. Karena dalam GTRA ini secara langsung melibatkan Gubernur sebagai pimpinan, Kepala Daerah kabupaten kota,  maupun Badan Pertanahan Provinsi dan kabupaten kota. Untuk itu mereka harus bisa menyelesaikan masalah  agraria,” tukasnya.

Anggota DPR RI asal Kalimantan Selatan ini juga meminta  Pemerintah Provinsi (Pemprov) untuk segera merealisasi kebijakan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), terutama memastikan kepastian status hukum kepemilikan tanah maupun distribusi aset tanah di wilayah pedesaan. “Ini mesti menjadi perhatian serius Pemprov. Ke depan harus bisa capai sepenuhnya,” harapnya.

Sementara  Gubernur Malut Sherly Tjoanda  mengakui   ada tumpang tindih antara pertambangan dan tanah adat terutama di Haltim. Begitupun izin pengelolaan hutan yang justru dimanfaatkan untuk pertambangan. “Karena itu kami berharap ada sinergi soal ini dan bisa  masalah agrarian bisa terselesaikan  untuk mencegah konflik sosial,”katanya.(adli/aji)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *