Transformasi pendidikan tinggi di Indonesia telah mengalami fase-fase penting dalam dekade terakhir. Salah satu kebijakan monumental adalah implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi pada tahun 2020. Program ini dirancang untuk menjawab tantangan relevansi pendidikan tinggi terhadap kebutuhan zaman dengan memberikan keleluasaan kepada mahasiswa dalam menentukan lintasan belajarnya. Termasuk melalui program magang industri, proyek desa, pertukaran pelajar, dan studi independen.
Meskipun secara konseptual MBKM merupakan terobosan besar, dalam praktiknya banyak perguruan tinggi belum optimal mengadaptasi kebijakan ini ke dalam sistem internal mereka. Pelaksanaan magang kerap menjadi formalitas administratif, proyek desa dan KKN tematik berakhir sebagai laporan dokumentatif tanpa keberlanjutan dampak, dan kegiatan riset mahasiswa tidak tersambung dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Kampus-kampus cenderung fokus pada pencapaian angka kredit dosen dan publikasi ilmiah bereputasi yang dalam banyak kasus tidak berdampak langsung pada persoalan lokal seperti kemiskinan, stunting, krisis air bersih atau urbanisasi yang tidak sehat (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2020).
Kemendikti Saintek kemudian memperkenalkan paradigma baru yakni “Kampus Berdampak” sebagai kelanjutan dan pendalaman arah MBKM. Paradigma ini menempatkan kampus bukan hanya sebagai pusat pendidikan dan penelitian, tetapi juga sebagai simpul utama perubahan sosial. Konsep ini menuntut reorientasi nilai, struktur, serta budaya kelembagaan di lingkungan perguruan tinggi agar mampu menjawab tantangan masyarakat melalui pendekatan evidence-based, transdisipliner dan kolaboratif. Kampus berdampak menekankan pada keberanian institusi akademik untuk melakukan “self-disruption“, membongkar nilai-nilai lama yang usang dan menggantinya dengan sistem yang lebih adaptif, solutif, dan relevan secara sosial.
Tujuan utama dari kebijakan ini adalah mereorientasi sistem pendidikan tinggi agar bertransformasi menjadi institusi yang berdampak sosial nyata melalui pendekatan evidence-based. Pendidikan tinggi diharapkan menjadi simpul kolaboratif antara pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam menyelesaikan masalah pembangunan, termasuk isu kesehatan lingkungan dan sosial-ekonomi. Hal ini meliputi: menjadikan kampus sebagai pusat inovasi sosial dan advokasi berbasis bukti (evidence-based policy), meningkatkan kontribusi perguruan tinggi dalam agenda pembangunan daerah dan nasional serta mendorong integrasi kurikulum akademik dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Analisis Penyebab, Dampak, dan Konsekuensi.
Penyebab belum optimalnya dampak sosial dari pendidikan tinggi di Indonesia, meskipun telah ada inisiatif MBKM, antara lain: pengukuran kinerja yang belum berorientasi dampak, kekakuan internal dan birokrasi kampus, kurangnya kolaborasi lintas sektor yang terstruktur dan ketidakselarasan kebijakan pusat dan kebutuhan lokal.
Indikator keberhasilan kampus masih cenderung terfokus pada jumlah publikasi di jurnal bereputasi atau kerapihan dokumen akreditasi, bukan pada relevansi sosial riset atau kontribusi nyata dalam pengurangan masalah lokal. Hal ini menyebabkan potensi kontribusi ilmiah terhadap masalah sosial lokal menjadi tertutup. Perguruan tinggi juga masih terjebak dalam cara kerja internal yang kaku, hierarkis, dan birokratis. Ini menghambat inovasi radikal dari dalam dan mempersulit pembangunan sistem yang lebih adaptif dan berorientasi dampak. Kampus seringkali bekerja sendiri.
Padahal kolaborasi dengan pemerintah daerah, dunia usaha, organisasi masyarakat sipil, dan mitra global adalah keniscayaan untuk mencapai dampak. Skema pendanaan riset dan pengabdian belum sepenuhnya mendorong multistakeholder engagement, dan pendanaan masih berdasarkan proposal akademik, bukan peta kebutuhan nyata masyarakat. Kebijakan pusat terkadang tidak selaras dengan kebutuhan dan tantangan spesifik di tingkat lokal, sehingga dampak program menjadi kurang optimal.
Konsekuensi dari masalah ini adalah: perguruan tinggi kurang relevan bagi masyarakat, masalah sosial tidak terselesaikan secara optimal, program hanya berujung formalitas. Jika kampus hanya menjadi place of learning tanpa menjadi catalyst for social change, relevansinya bagi masyarakat di luar temboknya akan dipertanyakan. Potensi besar perguruan tinggi untuk menjadi problem solver dalam menghadapi tantangan global seperti digital disruption dan climate crisis tidak termanfaatkan secara maksimal. Dari perspektif kesehatan masyarakat, ini berarti masalah seperti stunting atau akses kesehatan yang belum merata mungkin tidak mendapatkan solusi berbasis bukti yang komprehensif dari institusi akademik. Inisiatif baik seperti MBKM bisa kehilangan esensinya dan hanya menjadi serangkaian kegiatan administratif tanpa menghasilkan solusi berkelanjutan atau transformasi nyata (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000).
Perbedaan antara MBKM dengan Kampus Berdampak dapat dilihat sebagai berikut:
Dampak Kebijakan yang Diusulkan.
Dengan pelaksanaan kebijakan kampus berdampak secara sistematis, dampak jangka pendek yang dapat diharapkan adalah meningkatnya keterlibatan dosen dan mahasiswa dalam aktivitas sosial yang terukur. Mahasiswa akan lebih siap secara kontekstual untuk menghadapi tantangan dunia kerja dan dunia nyata, terutama dalam bidang kesehatan masyarakat, lingkungan, dan pembangunan lokal. Dalam jangka menengah, akan tercipta kepercayaan publik yang lebih besar terhadap perguruan tinggi. Perguruan tinggi akan menjadi simpul solusi yang aktif dan adaptif, serta menjadi mitra strategis pemerintah daerah dalam perumusan dan evaluasi kebijakan berbasis bukti. Sementara itu, dampak jangka panjang adalah terbentuknya ekosistem pendidikan tinggi yang resilien, inovatif, dan berkeadilan sosial, di mana peran akademisi tidak hanya terbatas pada dunia ilmiah, tetapi juga menjadi aktor utama dalam pembangunan nasional dan global (World Bank, 2025).
Strategi Implementasi.
Implementasi kebijakan ini memerlukan sinergi dari berbagai pihak yakni Kemendikti Saintek Sebagai pembuat kebijakan utama, bertanggung jawab dalam merumuskan dan mengesahkan regulasi baru terkait indikator kinerja, skema pendanaan, dan mekanisme kolaborasi. Mereka juga harus mengalokasikan anggaran yang memadai untuk mendukung program-program berorientasi dampak. Perguruan Tinggi juga harus proaktif dalam melakukan self-disruption, merevisi kurikulum (open curriculum), mendesentralisasikan riset, dan meningkatkan fleksibilitas administratif untuk memfasilitasi kolaborasi dan inovasi. Mereka harus berani keluar dari zona nyaman dan hadir di tengah masyarakat. Pemerintah Daerah harus menjadi partner aktif bagi kampus, menyediakan data, mengidentifikasi masalah lokal, dan membuka ruang bagi mahasiswa dan dosen untuk melakukan co-creation of solutions. Mereka juga dapat mengintegrasikan hasil riset dan pengabdian kampus ke dalam kebijakan daerah (evidence-based policy). Dunia Usaha dan Organisasi Masyarakat Sipil berperan sebagai mitra kolaborasi dalam proyek-proyek yang relevan, menyediakan real-world competencies bagi mahasiswa, dan menjadi end-users dari solusi yang dihasilkan kampus.
Metode Pemantauan dan Evaluasi.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan ini harus dilakukan secara periodik dan berbasis data yang akurat. Metodologi yang digunakan perlu bersifat partisipatif, melibatkan masyarakat lokal sebagai penerima manfaat, serta mempertimbangkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Evaluasi tidak hanya melihat pada output administratif, tetapi lebih menekankan pada outcome dan impact sosial.
Penggunaan “impact scorecard” dapat dijadikan alat ukur untuk melihat perubahan sosial yang dihasilkan dari keterlibatan kampus dalam komunitas. Evaluator eksternal seperti lembaga independen atau mitra internasional dapat ditunjuk untuk menjamin akuntabilitas dan objektivitas proses. Hasil evaluasi harus dipublikasikan secara transparan dan digunakan sebagai dasar perbaikan kebijakan di tingkat nasional maupun institusional (Kemendikbudristek, 2022).
Tim Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin: Jaenudin, Jumiati, Liasari Armaijn, Maximiano Oqui, Muh. Taufik Hidayat MS, Santi Agustina, Sri Darmawan, dan Sumarni.