Bahas Konflik Lahan Warga-TNI AU, DPD Usul Diselesaikan Restorative  Justice

Headline, Morotai199 Dilihat

Halmaherapedia- Badan Akuntabilitas Publik (BAP)  Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI meminta Pemerintah Pusat (Pempus) menyelesaikan konflik lahan antara warga Morotai dan pihak Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Leo Wattimena secara Restorasi justice. Hal ini dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tindak lanjut  aduan masyarakat terkait sengketa lahan yang berlangsung di  Royal Resto Ternate, Jumat (14/11).

Wakil Ketua BAP DPD RI Abdul Hakim, menyebutkan bahwa pihaknya telah melakukan komunikasi dengan warga yang mengadukan sengketa lahan Bandara TNI AU yang tengah berlangsung lama. Pihaknya memandang persoalan ini perlu diklasifikasi bersama kementerian dan lembaga terkait.

“Hari ini BAP DPD RI menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait sengketa tanah Lingkar Bandara Leo Wattimena. Kami mengundang seluruh pihak untuk memperjelas duduk persoalan,” ujarnya kepada Malut Post usai rapat.

Kata dia, BAP DPD RI memberikan perhatian serius bagi sengketa lahan antara warga dan Lanud TNI AU. Karena itu pasca rapat dengan berbagai pihak di Malut, terutama warga maupun pihak Lanud TNI AU. DPD RI juga bakal rapat dengan Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) maupun Kementerian ATR dan BPN, untuk mendudukkan masalah sengketa lahan Lanud Pulau Morotai.

“Kami dorong sengketa bisa  lahan ini secara Restorasi justice. Tidak boleh ke ranah hukum, semuanya harus diselesaikan dengan musyawarah. Supaya tidak ada pihak yang dirugikan,” tegasnya.

Ia menekankan penyelesaian sengketa lahan di Lingkar Bandara Leo Wattimena, Pulau Morotai, harus dilakukan secara adil dan tidak merugikan masyarakat. Menurutnya masyarakat pada dasarnya bersedia mendukung kepentingan negara sepanjang dilakukan dengan mekanisme yang adil dan bermartabat. “Sebenarnya sederhana. Masyarakat menjelaskan dan merelakan untuk kepentingan negara, apalagi kawasan Morotai sangat strategis. Tidak hanya bagi daerah, tetapi juga bagi keutuhan NKRI,” tukasnya.

Bagi dia, Kesultanan Ternate memiliki peran sejarah yang besar dalam mendukung kepentingan nasional sejak masa perang. Karena itu, penyelesaian sengketa lahan ini harus mempertimbangkan sumbangsih sejarah tersebut dan hak masyarakat yang telah menempati wilayah itu turun-temurun.

Meski begitu ia mengaku DPD RI tidak memiliki kewenangan eksekusi, namun menjadi representasi daerah yang dapat mendorong Pempus  mempercepat penyelesaian. “Keputusan konflik ini ada di  Presiden dan Kementerian terkait. Tapi kami memastikan agar proses ini dapat dilakukan terukur dan terjadwal,” katanya.

Ia menambahkan salah satu kendala yang muncul adalah ketersediaan anggaran untuk ganti untung, terutama bagi masyarakat yang memiliki bangunan atau tanaman produktif di area yang diklaim sebagai Barang Milik Negara (BMN).

“Kami minta pemerintah menyiapkan alokasi anggaran agar ganti rugi lahan warga.  Ini juga bagian dari upaya mengedepankan pendekatan restorative justice agar konflik lahan tidak berlarut-larut,” pintanya.

Senada Anggota DPD RI daerah pemilihan (Dapil) Malut Hidayat M. Sjah, menyatakan bahwa tuntutan masyarakat pada dasarnya berfokus pada keadilan dan kompensasi yang layak. Karena itu negara mestinya bisa memenuhi, sehingga konflik tidak berkepanjangan

“Setidaknya apa yang menjadi tuntutan masyarakat bisa dipenuhi. Mereka menginginkan ganti untung yang jelas. Banyak pohon kelapa dan tanaman lain yang ditebang,” kata Hidayat.

Sultan Ternate ini juga  menegaskan bahwa penyelesaian yang baik akan memberi kepastian kepada masyarakat, sekaligus mendukung pengembangan kawasan strategis Morotai. “Jadi ini harus selesai. Kami dorong agar ada jalan tengahnya,” tukasnya.

Sementara itu, Wakil Gubernur Malut Sarbin Sehe menyampaikan, lahan bandara Leo Wattimena telah masuk ke aset negara di dua Kementerian. “Untuk itu kehadiran DPD RI ini sangat penting kami apresiasi ini. Semoga ada dari pertemuan ini ada solusi yang tak rugikan rakyat,” ujarnya usai rapat RDPU bersama BAP DPD RI.

Saat ditanya mengenai solusi dari Pemprov. Kata dia, berpihak taat pada regulasi. Karena itu mengenai ganti rugi ke warga, Pemprov akan menunggu keputusan negara. “Semuanya kita tunggu seperti apa keputusan Pempus,”singkatnya mengakhiri.

Komandan Lanud Leo Wattimena Kolonel Pnb Anang Heru Setiyono dalam kesempatan itu mengatakan, pada prinsipnya berkomitmen mendukung penyelesaian konflik lahan bandara Leo Wattimena sesuai dengan ketentuan hukum. Ia menjelaskan  tanah seluas  1.125 hektar merupakan Barang Milik Negara (BMN) dan tercatat sebagai inventaris kekayaan milik negara Nomor 5061.6001 atas nama Kementerian Pertahanan.

“Ini sebagian besar sudah ada sertifikat hak paten,” terangnya dalam rapat itu.

Ia memaparkan berdasarkan kepemilikan BMN pada Kementerian Pertahanan, bandara Leo Wattimena diperoleh dari surat keputusan  Kepala Angkatan Perang sejak 25 Mei 1950. Dalam surat itu menerangkan semua fasilitas Leo Wattimena milik angkatan Udara. Selain itu ada surat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang meminta pengembalian tanah yang dahulu diambil Pemerintahan Pendudukan Jepang. Kemudian ada keputusan Kemenkeu 25 Juli 2017 menetapkan status tanah Leo Wattimena sebagai barang milik negara.

Terpisah Komite Perjuangan Masyarakat Lingkar Bandara Luth DJaguna menyampaikan sejak 1944 tanah masyarakat  di lingkar Bandara Leo Wattimena diserahkan Sultan Ternate kepada Sekutu untuk keperluan pangkalan udara selama Perang Pasifik. Pada 1950, lahan itu dikembalikan kepada Kesultanan Ternate, dan sejak saat itu masyarakat tetap menguasai serta memanfaatkan lahan tersebut.

Namun dalam perjalanannya  berdasarkan keputusan Kementerian Keuangan, kawasan 1.125 hektar itu kini tercatat sebagai Barang Milik Negara (BMN) dan dimanfaatkan oleh Kementerian Pertahanan. Padahal tanah tersebut adalah milik Kesultanan dan warga adat Morotai.

“Klaim ini menimbulkan persoalan, karena di beberapa titik masih terdapat kebun dan hunian warga yang belum dibebaskan,” jelasnya dalam rapat itu.

Sangaji Pulau Morotai ini  berharap hasil rapat bersama BAP DPD RI ini melahirkan solusi konkrit antara warga dan pihak Lanud Leo Wattimena. Sehingga lahan warga yang sudah masuk diklaim dapat diberikan ganti rugi dan ada solusi lainnya. “Besar harapan kami ada titik menyelesaikan masalah ini. Karena 41 tahun masalah ini tidak selesai. Ada warga yang lahannya sudah digusur bahkan tidak ada ganti rugi. Ini bukan tanah negara, tapi milik masyarakat adat Kesultanan,” tuturnya.

Rapat ini dihadiri 12 anggota BAP DPD RI, Wakil Gubernur Malut Sarbin Sehe, Komite Perjuangan Masyarakat Lingkar Bandara, Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai, Dan Lanud Leo Wattimena Morotai Kolonel Pnb Anang Heru Setiyono, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Malut Lalu Harisandi, BPN Kabupaten Pulau Morotai Rahmatia Pawah. (adil)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *