Melihat Keberhasilan Komunitas Jadikan Tobololo Ternate Pusat Konservasi Penyu

Dimulai pada 2015 Sudah Lepas Hampir 2000 Ekor Tukik Penyu

banner 468x60

Halmaherapedia– Kelurahan Tobololo di Ternate Barat Kota Ternate Provinsi Maluku Utara, menjadi perintis konservasi penyu.  Dimulai sejak 2015   hingga sekarang, gerakan yang diinisiasi  masyarakat dan anak muda setempat  sudah 10 tahun berlangsung.  Mereka ikut menginsipirasi dan mengedukasi banyak pihak bergerak bersama menyelamatkan penyu  dari berbagai  ancaman.

Tobololo merupakan salah satu kampung/kelurahan  yang masih memiliki pantai, meski  hanya sepanjang  kurang lebih 1,5 kilomter. Tetapi dengan pantai berpasir hitam  yang ada, sepanjang tahun  jadi tempat beberapa jenis penyu  bertelur. Di banding kampung  lain di Ternate, pantainya habis terdampak  reklamasi.

banner 336x280

Untuk menjaga  penyu  tetap lestari di pantai ini,  warga dan anak muda setempat melalui  inisiasi bebeberapa dosen dari Universitas Khairun  membentuklah komunitas konservasi penyu bernama Komunitas Orimafala. Dalam bahasa Ternate  berarti Komunitas Rumah Penyu. Tujuannya tidak hanya mengedukasi masyarakat  dari perburuan    tetapi juga mengalihkan mereka  jadi penyelamat. Kehadiran komunitas ini  ikut melahirkan kesadaran masyarakat  tidak hanya di  Tobololo tetapi juga di kampung lain. Mereka turut bergerak  yang sama  ketika menemukan penyu  bertelur di pantai.

Tukik yang telah dilepas dan berenang-menuju tengah laut foto-M-Ichi

Dari upaya konservasi  tersebut, sudah dilepas ribuan tukik hasil penangkaran yang mereka  lakukan. Pada (8/6/2024) tahun lalu  melalui  kerjasama Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK)  Universitas Khairun dengan  Orimafala  mereka  lepas kurang lebih 50 tukik . Kegiatan ini  bagian dari memperingati Hari Lingkungan Hidup sedunia  5 Juni.

Siang itu puluhan orang  dari civitas akademika FPIK Unkhair  dosen dan mahasiswa, warga  bersama anggota komunitas, serta  undangan  berdiri di tepi pantai Tobololo memegang tempurung  berisi air laut  dan   tukik yang siap dilepas. Dengan satu aba- aba,  serentak  dilepas  beramai- ramai  di atas pasir tepian pantai. Tukik itu  lalu berjalan menuju laut. Ada yang perlahan , ada yang langsung  berenang ke laut lepas.

“Tukik yang dilepas ke laut ini usianya  satu bulan setelah ditetaskan. Ada juga yang sudah dua minggu,” kata Bahar Kaidati Pembina Komunitas Orimafala yang juga dosen FPIK Unkhair waktu itu.  Tukik   ini  semuanya jenis lekang (Lepidochelys olivacea).

Dia bilang,  penyu yang biasa bertelur di kawasan pantai Tobololo  lalu diambil telurnya dan dibuat penangkaran  itu ada empat jenis. Yakni sisik, lekang hijau dan pipih. “Empat jenis ini sering kali ditemukan, dilakukan  penangkaran dan tukiknya telah dilepasliarkan ,” katanya.

Kaidati bilang, sejak dilakukan konservasi  sudah dilepas  mencapai ribuan ekor. Berbagai kalangan  berbondong bondong melepas tukik itu  ke laut baik secara sederhana maupun dengan ceremony.  “Pelepasan tukik dari 2015 hingga saat sudah mencapai 1974 ekor,” jelasnya.

Lalu kenapa konservasi penyu dilakukan dan mengapa ide awalnya dari kampung ini?

Bahar yang selain dosen dan warga  Tobololo bercerita,  bersama kawannya terpanggil mendorong upaya konservasi ini karena  melihat   kenyataan ancaman serius penyu yang berlangsung setiap saat. Waktu penyu naik dan bertelur di kawasan  kurang lebih 1,5 kilometer itu selalu diambil dan dikonsumsi warga. Karena  acamananya di masa depan dia bersama beberapa kawan dosen  dan tokoh masyarakat  termasuk Badan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat setempat bersepakat melindungi   pantai   tempat bertelur penyu. Ini sekaligus membatasi praktek pengambilan telur penyu selama ini.

“Sebelum dijadikan kawasan konservasi   penyu bertelur  pasti  ambil  untuk dikonsumsi atau diperjualbelikan,” tambahnya. Ini terjadi sepanjang tahun tanpa ada  larangan. Ini   yang  memprihatinan. Karena ini  ancaman degradasi sumberdaya alam laut.  Karena  itulah gerakan konservasi penyu ini hadir, ”cerita  Bahar.

Ini keberhasilan komunitas yang setiap tahun melepas tukik ke laut lepas bersama berbagai kelompok masyarakat. Seperti yang dilakukan pada Juni 2024 lalu, foto M Ichi

Dimulai dengan pendekatan kepada orang -orang yang sebelumnya  berburu penyu  dan telurnya. Mereka  diberi pemahaman  tentang fungsi dan manfaat menjaga dan melindungi penyu.  “Dari sini dibuatlah gerakan penyelamatan  dengan menggandeng  beberapa orang yang berpengaruh di kampung.  Babinsa serta  beberapa tokoh masyarakat mengawali dengan mengampanyekan perlindungannya.  Caranya ketika penyu bertelur di pantai  tidak diambil  tapi  dibuat penangkaran,” katanya.

Gerakan ini  berdampak karena semakin banyak orang memiliki kesadaran  melindungi dan menjaga penyu. Apa yang dinisiaasi  memberi efek ke luar. Dicontohkan  warga beberapa kelurahan di Ternate  yang menemukan penyu  bertelur langsung diambil  dan diantar ke komunitas  Orimafala untuk  ditetaskan dan kemudian dilepas ke laut.  “Pengaruh ini tidak hanya di Pulau Ternate tetapi juga   di Halmahera Barat. Ada warga di Lapasi Halmahera Barat menemukan penyu bertelur  mereka ambil dan antar ke komunitas Orimafala untuk dilakukan  penangkaran. “Patut disyukuri karena gerakan ini   ikut   membangkitkan kesadaran warga   melestarikan penyu,”katanya.

Apa yang dilakukan  memberi kesadaran  bagi pemburu penyu dan telurnya. Mereka  jadi orang terdepan mengampanyekan penyelamatan  penyu dari kepunahan.  Ada dua orang tua di kampung ini  dulunya menjadi pemburu telur dan daging penyu. Saat ini mereka  jadi bagian dari komunitas Orimafala  sebagai juru kampanye  penyelamatan penyu.  Bahkan gerakan mereka menjadikan Kelurahan Tobololo  sebagai pusat konservasi penyu di Maluku Utara.

Gerakan ini perlahan mendapat dukungan berbagai pihak, terutama kampus Universitas Khairun Ternate dan    Pertamina, Bank Indonesia  dan beberapa lembaga lain  dengan membantu  sejumla fasilitas pendukung. Tujuannya untuk peningkatan  gerakan konservasi  ke arah yang lebih baik.

Tidak sia-sia, sebab sejak diinisiasi,  berdatangan berbagai dukungan. Salah satunya  perhatian dari Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir  dan Laut (PSPL) Sorong  Papua Barat Daya. Mereka  membantu  fasilitas  serta memberi pelatihan bagi komunitas dan warga  mengembangkan penangkaran penyu. Mulai dari   penyimpanan hingga penetesan, pemeliharaan  dan pelepasan ke laut.

Saat ini,  Kompak Ori Ma Fala dibawa pembinaan LPSPL  Sorong Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan Provinsi Maluku Utara, dan Kodim 1501/Ternate. Kompak Ori Ma Fala telah mendapat bantuan dari LPSPS  berupa lembaran seng, satu unit longboat mesin 15 PK, pelampung, 2 radio dan 2 unit kamera. Longboat ini dipakai mengambil telur di pesisir pantai Takome dan Kastela untuk dibawa ke lokasi konservasi.

Dulu Pemburu  Sekarang Pengampanye 

Surdin Tototi  dan Afan Umar  dua orang  warga Tobololo  sehari harinya selain sebagai petani dan nelayan  juga pemburu penyu.  Sebelum mereka tahu fungsi dan manfaat  penyu dalam rantai makanan di alam, mereka selalu menangkap dan mengambil telurnya.

Hingga suatu saat mereka disadarkan dua dosen Universitas Khairun Ternate  yakni Adityawan Ahmad dan  Bahar Kaidati. Kedua orang ini menginisiasi dimulainya perlindungan kawasan konservasi penyu di pantai Tobololo.

Surdin Tototi  dan Afan Umar   mengaku bertahun tahun menjadi pemburu telur penyu.  Di saat penyu naik bertelur mereka sangat hafal dan paham di mana posisi telur itu berada. Keduanya dijuluki pawang telur   penyu. Mereka juga sangat hafal cuaca di mana penyu akan bertelur. “Dulu telur-telur yang torang dapat selain makan juga dijual ke pasar,” kata Surdin. Tapi kini  tidak lagi sejak ada ajakan dan penyadaran  bapak bapak dosen itu,” imbuhnya.

Sejak adanya ajakan dari para dosen sekira tahun 2015 mereka langsung berhenti memburu penyu. Sejak  itu keduanya berbalik menjadi pengkampanye perlindungan penyu di Kampong Tobololo.  “Kami diliabatkan dalam berbagai kegiatan melindungi penyu hingga kini,” imbuh Afan. Apa yang dilakukan berdampak luas.  Warga juga sudah menjadi sadar  sehingga ketika menwmukan penyu bertelur mereka kumpulkan telur- telur itu dan diserhkan  kepada  komunitas orimafala.  “Syukurlah saat ini sudah tidak seperti dulu lagi kampung ini warganya sudah sadar karena  tahu mengkonsumsi telur  atau menangkap penyu memiliki konsekswensi hukum. Ini semua karena sosialisasi  dan penyadaran yang dibangun selama ini.” Imbuh Surdin. (*)

 

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *