Halmaherapedia– Kelurahan Tobololo di Ternate Barat Kota Ternate Provinsi Maluku Utara, menjadi perintis konservasi penyu. Dimulai sejak 2015 hingga sekarang, gerakan yang diinisiasi masyarakat dan anak muda setempat sudah 10 tahun berlangsung. Mereka ikut menginsipirasi dan mengedukasi banyak pihak bergerak bersama menyelamatkan penyu dari berbagai ancaman.
Tobololo merupakan salah satu kampung/kelurahan yang masih memiliki pantai, meski hanya sepanjang kurang lebih 1,5 kilomter. Tetapi dengan pantai berpasir hitam yang ada, sepanjang tahun jadi tempat beberapa jenis penyu bertelur. Di banding kampung lain di Ternate, pantainya habis terdampak reklamasi.
Untuk menjaga penyu tetap lestari di pantai ini, warga dan anak muda setempat melalui inisiasi bebeberapa dosen dari Universitas Khairun membentuklah komunitas konservasi penyu bernama Komunitas Orimafala. Dalam bahasa Ternate berarti Komunitas Rumah Penyu. Tujuannya tidak hanya mengedukasi masyarakat dari perburuan tetapi juga mengalihkan mereka jadi penyelamat. Kehadiran komunitas ini ikut melahirkan kesadaran masyarakat tidak hanya di Tobololo tetapi juga di kampung lain. Mereka turut bergerak yang sama ketika menemukan penyu bertelur di pantai.
Dari upaya konservasi tersebut, sudah dilepas ribuan tukik hasil penangkaran yang mereka lakukan. Pada (8/6/2024) tahun lalu melalui kerjasama Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Khairun dengan Orimafala mereka lepas kurang lebih 50 tukik . Kegiatan ini bagian dari memperingati Hari Lingkungan Hidup sedunia 5 Juni.
Siang itu puluhan orang dari civitas akademika FPIK Unkhair dosen dan mahasiswa, warga bersama anggota komunitas, serta undangan berdiri di tepi pantai Tobololo memegang tempurung berisi air laut dan tukik yang siap dilepas. Dengan satu aba- aba, serentak dilepas beramai- ramai di atas pasir tepian pantai. Tukik itu lalu berjalan menuju laut. Ada yang perlahan , ada yang langsung berenang ke laut lepas.
“Tukik yang dilepas ke laut ini usianya satu bulan setelah ditetaskan. Ada juga yang sudah dua minggu,” kata Bahar Kaidati Pembina Komunitas Orimafala yang juga dosen FPIK Unkhair waktu itu. Tukik ini semuanya jenis lekang (Lepidochelys olivacea).
Dia bilang, penyu yang biasa bertelur di kawasan pantai Tobololo lalu diambil telurnya dan dibuat penangkaran itu ada empat jenis. Yakni sisik, lekang hijau dan pipih. “Empat jenis ini sering kali ditemukan, dilakukan penangkaran dan tukiknya telah dilepasliarkan ,” katanya.
Kaidati bilang, sejak dilakukan konservasi sudah dilepas mencapai ribuan ekor. Berbagai kalangan berbondong bondong melepas tukik itu ke laut baik secara sederhana maupun dengan ceremony. “Pelepasan tukik dari 2015 hingga saat sudah mencapai 1974 ekor,” jelasnya.
Lalu kenapa konservasi penyu dilakukan dan mengapa ide awalnya dari kampung ini?
Bahar yang selain dosen dan warga Tobololo bercerita, bersama kawannya terpanggil mendorong upaya konservasi ini karena melihat kenyataan ancaman serius penyu yang berlangsung setiap saat. Waktu penyu naik dan bertelur di kawasan kurang lebih 1,5 kilometer itu selalu diambil dan dikonsumsi warga. Karena acamananya di masa depan dia bersama beberapa kawan dosen dan tokoh masyarakat termasuk Badan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat setempat bersepakat melindungi pantai tempat bertelur penyu. Ini sekaligus membatasi praktek pengambilan telur penyu selama ini.
“Sebelum dijadikan kawasan konservasi penyu bertelur pasti ambil untuk dikonsumsi atau diperjualbelikan,” tambahnya. Ini terjadi sepanjang tahun tanpa ada larangan. Ini yang memprihatinan. Karena ini ancaman degradasi sumberdaya alam laut. Karena itulah gerakan konservasi penyu ini hadir, ”cerita Bahar.
Dimulai dengan pendekatan kepada orang -orang yang sebelumnya berburu penyu dan telurnya. Mereka diberi pemahaman tentang fungsi dan manfaat menjaga dan melindungi penyu. “Dari sini dibuatlah gerakan penyelamatan dengan menggandeng beberapa orang yang berpengaruh di kampung. Babinsa serta beberapa tokoh masyarakat mengawali dengan mengampanyekan perlindungannya. Caranya ketika penyu bertelur di pantai tidak diambil tapi dibuat penangkaran,” katanya.
Gerakan ini berdampak karena semakin banyak orang memiliki kesadaran melindungi dan menjaga penyu. Apa yang dinisiaasi memberi efek ke luar. Dicontohkan warga beberapa kelurahan di Ternate yang menemukan penyu bertelur langsung diambil dan diantar ke komunitas Orimafala untuk ditetaskan dan kemudian dilepas ke laut. “Pengaruh ini tidak hanya di Pulau Ternate tetapi juga di Halmahera Barat. Ada warga di Lapasi Halmahera Barat menemukan penyu bertelur mereka ambil dan antar ke komunitas Orimafala untuk dilakukan penangkaran. “Patut disyukuri karena gerakan ini ikut membangkitkan kesadaran warga melestarikan penyu,”katanya.
Apa yang dilakukan memberi kesadaran bagi pemburu penyu dan telurnya. Mereka jadi orang terdepan mengampanyekan penyelamatan penyu dari kepunahan. Ada dua orang tua di kampung ini dulunya menjadi pemburu telur dan daging penyu. Saat ini mereka jadi bagian dari komunitas Orimafala sebagai juru kampanye penyelamatan penyu. Bahkan gerakan mereka menjadikan Kelurahan Tobololo sebagai pusat konservasi penyu di Maluku Utara.
Gerakan ini perlahan mendapat dukungan berbagai pihak, terutama kampus Universitas Khairun Ternate dan Pertamina, Bank Indonesia dan beberapa lembaga lain dengan membantu sejumla fasilitas pendukung. Tujuannya untuk peningkatan gerakan konservasi ke arah yang lebih baik.
Tidak sia-sia, sebab sejak diinisiasi, berdatangan berbagai dukungan. Salah satunya perhatian dari Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (PSPL) Sorong Papua Barat Daya. Mereka membantu fasilitas serta memberi pelatihan bagi komunitas dan warga mengembangkan penangkaran penyu. Mulai dari penyimpanan hingga penetesan, pemeliharaan dan pelepasan ke laut.
Saat ini, Kompak Ori Ma Fala dibawa pembinaan LPSPL Sorong Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan Provinsi Maluku Utara, dan Kodim 1501/Ternate. Kompak Ori Ma Fala telah mendapat bantuan dari LPSPS berupa lembaran seng, satu unit longboat mesin 15 PK, pelampung, 2 radio dan 2 unit kamera. Longboat ini dipakai mengambil telur di pesisir pantai Takome dan Kastela untuk dibawa ke lokasi konservasi.
Dulu Pemburu Sekarang Pengampanye
Surdin Tototi dan Afan Umar dua orang warga Tobololo sehari harinya selain sebagai petani dan nelayan juga pemburu penyu. Sebelum mereka tahu fungsi dan manfaat penyu dalam rantai makanan di alam, mereka selalu menangkap dan mengambil telurnya.
Hingga suatu saat mereka disadarkan dua dosen Universitas Khairun Ternate yakni Adityawan Ahmad dan Bahar Kaidati. Kedua orang ini menginisiasi dimulainya perlindungan kawasan konservasi penyu di pantai Tobololo.
Surdin Tototi dan Afan Umar mengaku bertahun tahun menjadi pemburu telur penyu. Di saat penyu naik bertelur mereka sangat hafal dan paham di mana posisi telur itu berada. Keduanya dijuluki pawang telur penyu. Mereka juga sangat hafal cuaca di mana penyu akan bertelur. “Dulu telur-telur yang torang dapat selain makan juga dijual ke pasar,” kata Surdin. Tapi kini tidak lagi sejak ada ajakan dan penyadaran bapak bapak dosen itu,” imbuhnya.
Sejak adanya ajakan dari para dosen sekira tahun 2015 mereka langsung berhenti memburu penyu. Sejak itu keduanya berbalik menjadi pengkampanye perlindungan penyu di Kampong Tobololo. “Kami diliabatkan dalam berbagai kegiatan melindungi penyu hingga kini,” imbuh Afan. Apa yang dilakukan berdampak luas. Warga juga sudah menjadi sadar sehingga ketika menwmukan penyu bertelur mereka kumpulkan telur- telur itu dan diserhkan kepada komunitas orimafala. “Syukurlah saat ini sudah tidak seperti dulu lagi kampung ini warganya sudah sadar karena tahu mengkonsumsi telur atau menangkap penyu memiliki konsekswensi hukum. Ini semua karena sosialisasi dan penyadaran yang dibangun selama ini.” Imbuh Surdin. (*)