Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
“…Fenomena bunuh diri di era media sosial menuntut perhatian serius. Mental rapuh bukan sekadar masalah individu, tetapi produk dari struktur sosial ekonomi yang berubah cepat.”
Dalam beberapa hari terakhir ini, publik (di Maluku Utara) dihebohkan dengan kasus bunuh diri beruntun. Kasus ini setiap tahun terus berulang, dengan titik tumpu pada persoalan pribadi, rumah tangga, dan tekanan ekonomi, dan media sosial.
Bunuh diri merupakan fenomena sosial yang telah lama menjadi perhatian dalam kajian sosiologi, psikologi, dan kesehatan masyarakat. Dalam konteks kontemporer, meningkatnya kasus bunuh diri terutama di kalangan remaja dan dewasa muda tidak dapat dilepaskan dari dinamika media sosial dan kerentanan mental, dan tekanan ekonomi yang menyertainya.
Mental Rapuh
Mental rapuh atau fragile mental state mengacu pada kondisi psikologis yang mudah terguncang oleh tekanan eksternal dan internal. Menurut Emile Durkheim dalam Le Suicide (1897), bunuh diri dapat dipahami melalui tiga tipe: egoistik, altruistik, dan anomik.
Dalam era digital, bentuk anomik semakin nyata tatkala individu mengalami keterputusan norma sosial akibat tekanan dari media sosial.
Dalam studi yang dilakukan Twenge dkk., ditemukan bahwa peningkatan penggunaan media sosial berkorelasi dengan naiknya angka depresi dan ideasi bunuh diri di kalangan remaja, terutama perempuan. Mereka mencatat bahwa antara tahun 2010 hingga 2015, remaja yang menggunakan media sosial lebih dari lima jam per hari memiliki kemungkinan dua kali lipat mengalami gejala depresi (Twenge, dkk., 2017 : 9).
Tekanan Sosial Virtual
Media sosial juga menghadirkan ruang interaksi yang kompleks dan rumit, di mana eksistensi diri ditentukan oleh validasi eksternal seperti likes, komentar, dan jumlah pengikut. Menurut Turkle dalam Alone Together, media sosial telah menciptakan ilusi kedekatan sekaligus memperparah keterasingan.
Remaja cenderung membandingkan dirinya dengan figur ideal yang mereka lihat secara konstan, dan ini memperparah kecemasan serta menurunkan harga diri (Turkle, 2011 : 153).
Selain itu, fenomena cyberbullying menjadi pemicu signifikan dalam kasus bunuh diri, seperti yang dicatat oleh Hinduja dan Patchin, dalam artikel mereka “Bullying, Cyberbullying, and Suicide”, di mana remaja korban perundungan daring memiliki risiko lebih tinggi untuk mencoba bunuh diri dibandingkan yang tidak mengalaminya (Hinduja & Patchin, 2010 : 211).
Menghadapi tantangan ini, pendekatan interdisipliner sangat dibutuhkan. Sekolah, keluarga, komunitas, dan pemerintah harus bekerja sama untuk menciptakan ruang aman bagi diskusi kesehatan mental yang lebih serius dan intens. Ini berkaitan dengan masa depan anak bangsa.
Intervensi berbasis komunitas dan kampanye digital yang positif juga diperlukan untuk menggeser budaya media sosial dari yang toksik menjadi suportif.
Pada satu sisi, kita juga kerap menjadikan kasus ini sebagai media tontonan yang disebar secara serampangan hanya untuk memperoleh rating penonton. Kita kehilangan empati atas berbagai kasus menyedihkan di sekitar kita. Ini harus dihentikan agar tidak makin menguar dan memperpanjang daftar korban.
Fenomena bunuh diri di era media sosial menuntut perhatian serius. Mental rapuh bukan sekadar masalah individu, tetapi produk dari struktur sosial ekonomi yang berubah cepat. Perlu ditelusuri, apakah ada yang salah dari struktur sosial kita selama ini?
Mengatasi hal ini bukan hanya tanggung jawab personal, tetapi juga kolektif, termasuk peran negara dan lebih-lebih Pemerintah Daerah, platform digital, dan masyarakat sipil.[]