Kampung Tengah Gamalama, Empat Nama Dalam Satu Lingkungan

Pertautan Multikultural dari Arab, China ,Palembang dan Orang Lokal

Halmaherapedia—Berada di down town  Kota Ternate, Kampung Tengah yang secara administrasi masuk Kelurahan Gamalama Kota Ternate Tengah itu, memiliki sejarah panjang perjalanan kota. Dari sejarah bandar perdagangan rempah zaman kolonial,  pengasingan Sultan Palembang Mahmud Badaruddin II hingga cerita syiar agama Islam di negeri ini.

Sebagai sebuah pusat kota tua, nyata terlilihat dari wajah kampungnya.  Di perkampungan ini, berjejeran gedung berlantai, pertokoan, hingga mall. Sebagian rumah masih bergaya  arsitektur lama. Cat  identik putih, kayu  diukir dengan ciri khas bergaya Arab, Cina dan Eropa. Keramik lantai dasarnya diimpor dari Eropa. Rumah-rumah  tua itu  tampak biasa saja, namun punya keunikan.

Di tengah pemukiman orang Arab berdiri juga kokoh klenteng  Tion Hou Kiong.  Klenteng yang  biasa disebut   Ibu Suri Agung itu pertama kali dibangun tahun 1657. Di seberang jalan  kurang lebih 30 meter dari Klenteng berdiri megah masjid Almuttaqien atau dikenal dengan masjid Arab yang dibangun sekira tahun 1901.

Di gang belakang klenteng  tempat ibadah agama Konghucu itu, terlihat  ada  bangunan bersejarah. Salah satunya  rumah Letnan Arab. Meski telah lama dibangun yakni sejak kedatangan orang Arab di Jazira Mulkiyah kediaman  letnan atau Kapita Arab  masih berdiri kokoh. Kapita Arab sendiri  adalah sebuah gelar yang diberikan Kesultanan Ternate untuk pemimpin komunitas tersebut.

Kampung Tengah sendiri punya beberapa nama atau sebutan. Yakni, Kampung Arab, Kampung China, dan Kampung Palembang.  Kampung Tengah   dinamai demikian  karena  letaknya   berada di  jantung kota Ternate. Sementara disebut juga Kampung Palembang karena sejarah awal Sultan Mahmud Badaruddin II, ketika diasingkan  Belanda ke Ternate  dari Sumatera Selatan, dia dan   hulubalangnya  tinggal di Kampung Tengah,  tepatnya di kawasan Bank Mandiri sekarang . Sultan  asal Palembang itu ditahan di Benteng Fort Oranje  sementara  pengikutnya tinggal di Kampung Tengah.

Sayang  nama Kampung Palembang itu, kini telah hilang.  Sebutan nama tiga kampung ini juga untuk generasi kini sudah jarang  dikenal. Mereka lebih mengenal Kelurahan Gamalama.

 “Sebutan kampung Palembang  itu sudah hilang. Mungkin di awal- awal kemerdekaan masih ada, tapi saat ini sudah hilang,” ujar Hi Alwi Sagaf generasi ketiga Kapita Arab keempat  Habib Abubakar Bin Salim Alhaddar.

Klenteng Ibu Suri Agung di Kampung Tengah,foto, ist

Lantas bagaimana dengan kampung China? Nuansa China  sangat terasa. Di sisi selatan perkampungan,  berdiri kokoh pertokoan, kompleks ini dahulu  dikenal dengan perkampungan Cina. Sementara di bagian  Utara,  yang bersinggungan langsung dengan Benteng Fort Oranje  yang didirikan perusahaan dagang Belanda saat menjajah yakni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)  pada  26 Mei 1607 adalah kampung Arab.

Terkait keberadaan orang Arab di  Kampung Tengah, memiliki keterkaitan dengan   dengan sejarah perdagangan rempah. Hal ini  tercatat dalam perjalanan Sejarah Nusantara, di mana  Ternate  dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan rempah  dan  titik nol jalur rempah dunia.

Sejak berabad-abad lalu,  pedagang dari penjuru dunia  dan nusantara mengarungi samudra mencari emas hitam atau cengkeh. Aroma tanaman bernama latin Syzygium aromaticum ini memicu kedatangan beragam suku bangsa di Ternate. Salah satunya bangsa Arab yang datang dari hadramaut. Mereka   berdagang dan menyebarkan ajaran Islam. Saudagar-saudagar  ini kemudian menancapkan pengaruh besarnya dalam akulturasi budaya  di Malut. Tak heran Ternate kemudian dikenal sebagai kota yang multikultural.

Adnan Amal dalam bukunya Kepulauan Rempah-Rempah, menyebut  Ternate dikenal sebagai bandar niaga rempah di masa kolano Sida Arif Malamo yang memimpin 1317 1331 atau Abad 14. Kala itu Ternate berkembang pesat dengan pelabuhan perdagangan rempah Bastiong Talangame. Di pelabuhan ini pedagang mancanegara dari Arab, Cina dan Gujarat berdatangan  ada  pedagang Nusantara datang dari Jawa, Malaka dan Makassar.  Dari situ muncul pos perdagangan orang Arab dan etnis lainya di Ternate. Mereka bukan hanya sekedar berdagang, namun juga membawa misi budaya dan penyebaran agama, misalnya orang-orang Arab yang dikenal ulung dalam berdakwah.

Foto Rumah Letnan Arab Kelurahan Gamalama Ternate. Dok Koleksi Alwi Sagaf

Alwi Segaf Alhaddar menjelaskan, keberadaan orang Arab di Ternate bukan baru, namun sejak abad ke 15 lalu. Dalam perkembangannya orang Arab juga diangkat Kesultanan Ternate sebagai Letnan Arab atau kapita Arab kala itu. Tugas utama Kapita Arab  adalah mengurusi kaula Arab yang bermukim di Ternate.

Alwi bilang  pemukiman awal orang Arab di Ternate, adalah Kampung Tengah atau Kelurahan Gamalama saat ini. Kemudian dalam perkembangannya mulai bermukim di wilayah lain seperti di Kelurahan Muhajirin atau Falajawa II dan belakangan banyak yang membangun rumah di Kelurahan Salahuddin kompleks Tabahawa.

“Dulu semua orang Arab tinggal di sini (Kampung Tengah), bahkan Kapita Arab juga diangkat  Kesultanan dan memiliki kediaman di sini. Belakangan baru sebagian orang Arab, membangun pemukiman di tempat lain,” jelasnya saat ditemui Maret lalu.

Alwi berujar, kehadiran orang Arab  di Ternate selain datang sebagai pedagang, juga memberikan kontribusinya dalam penyebaran agama Islam dan pengembangan pendidikan Islam di Ternate. Kala itu orang Arab juga memiliki peran dalam menguatkan pondasi penyebaran Islam dengan dakwahnya, kemudian  dari sisi pendidikan orang Arab mendirikan lembaga pendidikan Islam seperti Al Khairat di Ternate. Bahkan orang Arab pun mengembangkan perekonomian dengan membuat unit usaha kuliner  yang berkembang  dan dipertahankan hingga saat ini.  “Ada banyak kontribusi dari keberadaan keturunan Arab di Ternate,” tuturnya.

Selain berperan dalam penyebaran Islam,   tradisi Islam yang dibawa  juga menyatu dengan kebudayaan lokal atau ada akulturasi budaya.Semisal  tradisi perayaan malam Lailatul Qadar. Di samping itu ada tradisi keturunan Arab sendiri  yakni Iwaddah atau sowan dari rumah ke rumah setelah Ramadhan. Namun tradisi itu sudah jarang dilakukan keturunan Arab di Ternate. “Kalau budaya banyak yang sudah ada akulturasi. Ada juga budaya Arab   masih dijalankan, tapi sebagian besar sudah mulai hilang,” jelas Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Maluku Utara (Malut) ini.

Dia juga bilang dalam Catatan Sejarah Kapita Arab,   diangkat Kesultanan Ternate  sejak  abad ke 19. Kapita Arab pertama  yakni Sayyid Muhsin Bin Muhammad Albaar. Dia  diangkat pada  1890-1903. Kemudian dilanjutkan Sayyid Umar Bin Muhammad B.Saleh Syechbubakar   yang menjabat hanya beberapa bulan sebelum Kapita Arab berikutnya dipilih  warga Arab dan Sultan.   Selanjutnya Sayyid Abdullah Bin Salim Alhaddar pada 1904-1922, Sayyid Abubakar Bin Salim Al Haddar  yang merupakan saudara dari Sayyid Abdullah Bin Salim Alhaddar, tahun 1922-1942.   Sayyid Hamid B.Abdullah Bin Umar Syechbubakar pada  1942-1950 dan   H.Faisal Hamid bin Syech Abubakar pada  1950-1955.

Sejarawan Universitas Khairun (Unkhair) Irfan Ahmad menjelaskan, waktu kedatangan orang Arab  atau Timur Tengah  di Ternate ada berbagai versi.  Dalam catatan Sejarah  akhir abad II Hijriah,  telah tiba di Maluku empat orang syekh dari Irak (Persia) Timur Tengah. Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di Irak yang mengakibatkan golongan Syiah dikejar-kejar  penguasa, baik bani Umayyah maupun bani Abbasiyah. Keempat orang yang membawa faham syiah itu  lalu pergi menyelamatkan diri menuju ke dunia Timur dan akhirnya tiba di Maluku. Dalam perkembangannya empat pemuka agama ini yakni Syekh Mansur    mengajarkan agama Islam  di Ternate dan Halmahera Muka. Selanjutnya  setelah meninggal dikuburkan di puncak Gamalama Ternate. Kemudian syekh Yakub mengajarkan agama Islam di Tidore dan Makeang. Setelah meninggal dia dikuburkan di puncak Kie Besi  Pulau Makeang.  Sedangkan syekh Amin dan syekh Umar mengajarkan agama Islam di Halmahera Belakang, Maba, Patani dan sekitarnya. Kedua tokoh ini diceritakan  kembali ke Irak.

“Bila informasi tersebut benar adanya,  keempat syekh yang disebutkan di atas adalah orang pertama dari Arab  yang tiba di Maluku. Saat itu   masa setelah jatuhnya Bani Abbasiyah,  pertengahan Abad XIII atau tahun 1258 Masehi,” jelasnya  awal Maret  2025 lalu.

Meski begitu katanya, Naidah  pada  1878 dalam “Hikayat Ternate” tidak menceritakan empat syekh di atas. Naidah justru menceritakan   kedatangan keturunan Nabi Muhammad SAW, yaitu Ja’far Shadiq atau Ja’far Nuh. Tokoh ini dihubungkan nasabnya dengan Ali Bin Abi Thalib sebagai cucunya dan disebut sebagai Imam keenam Mazhab Syiah.

Dalam catatan Naidah   Ja’far Shadiq disebut tiba di Ternate pada   Senin, 6 Muharram 643 Hijriah atau 1250 Masehi. Kemudian menikah dengan Nur Sifa dan dikaruniai empat orang anak. Anak laki-laki pertama, Buka menjadi raja di pulau Mara atau Besi (Makeang), anak kedua Drajati menjadi raja Jailolo, anak ketiga menjadi raja di Tidore, dan anak keempat menjadi raja di Ternate. Hal ini sebagaimana dicatat Van der Crab dalam De Moluksche eilanden 1862.

“Ja’far Shadiq diyakini sebagai orang Islam pertama yang memperkenalkan agama Islam dan menanamkan benih-benih keislaman kepada empat kesultanan Maluku Kie Raha. Akan tetapi, bila Ja’far Shadiq yang dimaksud cucu Nabi Muhammad SAW, Ja’far Shadiq atau Ja’far bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, dia wafat di kota Madinah pada tahun 148 Hijriah. Dengan demikian, cerita Naidah mengenai kedatangan Ja’far Shadiq pada 643 Hijriah, sesungguhnya Ja’far Shadiq telah wafat lebih dulu, dengan selisih 495 tahun. Sumber kedatangan orang Arab ini masih sekedar cerita,” paparnya.

Irvan  menyebutkan   bahwa ada sumber lain terutama penulis penulis Eropa menyebut kedatangan orang Arab dan perkembangan Islam di Moloku Kie Raha berhubungan dengan  agama Islam masuk ke Ternate, Maluku, pada paruh kedua Abad XV.

Dalam catatan Tome Pires (1512-1515) mengatakan bahwa agama Islam telah ada kira-kira 50 tahun yang lalu, berarti antara 1460-1465. Di mana  Raja Ternate kala itu yang sudah memeluk Islam bernama Sultan Bem Acorala (Sultan Bayanullah atau Bayan Sirullah). Hanya Ternate yang disebut Sultan, sedangkan yang lainnya digelari Raja.Bayanullah  dijelaskan   dia sedang berperang dengan mertuanya yang menjadi Raja Tidore   bernama Raja Almancor.

Peneliti dari Yayasan The Tebings ini menuturkan, meskipun kedatangan orang Arab telah berlangsung cukup lama sebagaimana dalam catatan Sejarah, namun dalam sumber-sumber sejarah Maluku, tidak terdapat keterangan tentang pemukiman orang Arab di Ternate dan Maluku  umumnya. Ha ini karena   kedatangan orang Arab di Ternate, awalnya hanya  dagang dan menyebarkan agama Islam kala itu. Dengan demikian, mereka tidak menetap di suatu wilayah melainkan berpindah dari satu pulau atau  pulau lain.  “Meskipun begitu, orang Arab telah menempati Sampalo serta hidup berbaur dengan masyarakat  di sekitar Pelabuhan Talangame dan permukiman orang Melayu di bagian utara pelabuhan. “Beberapa laporan Portugis dan Spanyol mendokumentasikan orang Arab dan penganut agama Islam saat itu adalah sebagai  penganut Muhammad  yang tidak memakan atau mengharankan  mengkonsumsi babi dan anjing,” tuturnya.

Pemukiman orang Arab sambungnya, baru berbentuk perkampungan setelah kedatangan Verenigde  Oost  Indische  Compagnie (VOC)  dan atas izin Sultan Ternate. Dalam perkembangannya, bekas pemukiman Melayu dijadikan Benteng Belanda  kemudian diberi nama Fort Oranje. Setelah membangun benteng dan menjadikan sentral perdagangan VOC di Nusantara, pihak pemerintah mulai menata pemukiman sekitar benteng. Karena, selain orang Maluku dan Belanda di sekitar benteng juga terdapat orang Arab, Cina, Melayu, Makassar, dan orang Jawa yang saat itu ramai  berdagang  cengkeh di Ternate, Maluku. Ini ada sebagaimana dicatat Valentijn, 1724.

“Tapi baik Valentijn dan lebih jauh lagi Gubernur Portugis di Ternate  Antonio Galvao  (1536-1540),  tidak menyebutkan letak perkampungan orang Arab, saat itu. Tetapi, ketika disinggung orang Maluku yang telah menganut agama Islam selalu dikaitkan dengan orang Arab yang datang lebih dahulu sebelum  orang  Eropa  tiba di Maluku,”  jelasnya.

Berita kedatangan orang Arab, baru terdokumentasi secara resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda di Ternate pada 1822. Kedatangan orang Arab ini bersamaan dengan Sultan Palembang, Mahmud Badaruddin yang menjalani hukuman pengasingannya di Ternate (Adnan Amal, 2010: 221). Karena kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda, maka laporan perjalanan terlihat sangat ketat dan detail, bahkan dalam laporan tersebut selain orang Palembang juga tercatat sekelompok orang Cina yang datang di Ternate, selain orang Arab.

“Sumber lisan dan tertulis membuktikan bahwa orang Arab yang menjalankan usaha perdagangan di sekitaran Benteng Oranje  telah berlangsung sejak lama. Mereka   berdampingan dengan orang Cina, dan terdokumentasi hingga pertengahan abad XIX  atau  saat ini berada di Kelurahan Gamalama. Dahulu pemukiman ini kenal dengan Kampung Tengah,” urainya.

Penempatan orang Arab, Cina, Makassar dan Palembang di sekitar Benteng Oranje ini dengan tujuan agar mereka mudah dikontrol  Pemerintah Belanda.  

Irfan sapaan akrabnya, menyebut bahwa orang Arab memiliki kontribusi yang signifikan dalam penyebaran Islam di Ternate  Maluku Utara. Terutama melalui jalur perdagangan, dakwah, dan pernikahan dengan keluarga kerajaan. Kontribusi mereka  Islam mulai diterima secara resmi di Kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Hal ini  salah satunya berkat peran para pendakwah  dan pedagang Arab.

Selain itu agama Islam menjadi agama resmi empat Kesultanan Moloku Kie Raha yang diyakini mendapat pengaruh dari para ulama Arab. “Karena itu dapat dikatakan  orang Arab memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Ternate dan Maluku Utara melalui perdagangan, dakwah, pernikahan dengan bangsawan, serta membangun jaringan keilmuan Islam. Kontribusi mereka membantu menjadikan Ternate sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Maluku dan Indonesia Timur,”pungkasnya.(*)

Disclaimer: Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian pagi Malut Post pada Maret 2025. Publikasi tulisan ini sudah disetujui penulisnya, dengan  beberapa editan dalam tubuh tulisan.

banner 336x280