
Oleh: Husain Ali
Pegiat Literasi Digital,Tinggal di Halmahera Tengah
Di era ketika informasi nyaris lebih cepat dari cahaya dan lebih bising dari pasar, kita menghadapi krisis yang tak terlihat bentuk, tapi nyata dampaknya. Ia tak menyerang tubuh kita secara langsung, tetapi melumpuhkan nalar dan memecah belah rasa. Krisis itu bernama: infodemik.
Banyak yang mengira bahwa setelah pandemi Covid-19 berakhir, kita bisa kembali bernapas lega. Tapi ternyata, dunia pasca-pandemi menyisakan residu yang lebih berbahaya dari virus: tsunami informasi palsu, disinformasi politik, dan hoaks yang menjelma seperti hantu digital. Diam-diam, ia merasuki ruang-ruang private dan publik kita, dari ruang tamu hingga ruang kebijakan. Infodemik bukan hanya soal informasi yang salah—ia adalah gejala sosial dari runtuhnya ketahanan berpikir masyarakat.
Jika dulu orang belajar agar tahu, kini banyak yang mencari informasi sekadar untuk membenarkan prasangka. Algoritma media sosial merawat keyakinan semu, bukan memperluas wawasan. Dalam lanskap ini, siapa yang paling lantang, dialah yang dianggap paling benar—meski suaranya penuh dusta.
Wabah Tak Kasatmata
Infodemik tak datang sendiri. Ia bersahabat akrab dengan krisis kepercayaan: pada media, pemerintah, dan bahkan kebenaran itu sendiri. Maka tak heran bila di kampung-kampung, isu penculikan anak yang tak berdasar bisa membangkitkan amarah kolektif. Di grup keluarga, potongan video dipelintir jadi “bukti” konspirasi. Di hari-hari tenang, satu unggahan bisa memicu konflik bernuansa SARA.
Maluku Utara, yang kaya akan keberagaman dan sejarah perjumpaan antarbudaya, justru berada di posisi rentan. Satu kabar bohong yang terlanjur viral bisa menyulut bara lama yang belum sepenuhnya padam. Di negeri kepulauan ini, koneksi antar-pulau kadang lebih lambat dari penyebaran hoaks di WhatsApp.
Saatnya Vaksin Sosial
Maka kita perlu vaksin—bukan yang disuntik ke lengan, tapi yang ditanam dalam pikiran dan nurani. Saya menyebutnya: vaksin sosial. Sebuah serangkaian nilai, keterampilan, dan kesadaran yang membuat masyarakat tangguh terhadap manipulasi informasi.
Vaksin sosial terdiri dari:
Literasi digital yang tak hanya mengajarkan cara pakai ponsel, tapi cara berpikir kritis dan etis di ruang digital. Etika informasi yang mendorong setiap individu bertanggung jawab atas apa yang mereka sebarkan. Penguatan media lokal, agar warga memiliki referensi terpercaya yang dekat dengan konteksnya.Kebijakan publik yang memihak edukasi, bukan hanya hukuman.Dan yang paling penting: revitalisasi nilai-nilai lokal—di mana informasi disaring lewat akal sehat, musyawarah, dan kearifan komunitas.
Menjaga Nalar di Tengah Derasnya Arus
Kita tak bisa lagi membiarkan anak-anak muda kita tumbuh dalam budaya “asal share”. Kita tak bisa lagi menertawakan hoaks seolah itu hanya candaan digital. Hoaks hari ini bisa menjadi tragedi besok pagi. Dan setiap tragedi sosial dimulai dari kegagalan membangun daya tahan berpikir.
Vaksin sosial tidak memerlukan biaya miliaran, hanya kesediaan untuk menyaring sebelum menyebar, bertanya sebelum percaya, dan belajar sebelum menilai. Ia adalah proses panjang, tapi lebih baik memulai hari ini daripada menyesali kerusakan esok hari.
Masyarakat Sehat, Informasi Sehat
Dunia yang sehat bukan dunia tanpa kebohongan, tapi dunia di mana masyarakatnya tahu membedakan mana yang fakta dan mana yang fiktif. Sebagaimana tubuh kita butuh imun, pikiran kita pun perlu antibodi sosial.
Mari kita menjadi bagian dari kekuatan yang melawan infodemik, bukan memperkuatnya. Jadilah penjernih di tengah kabut. Jadilah penyejuk di tengah bising. Jadilah filter, bukan corong. Karena kadang, menyelamatkan satu pikiran dari disinformasi, berarti menyelamatkan satu generasi dari kerusakan.(*)











