Memanggil Marx : Membaca Tambang, dan Kapitalisme

banner 468x60

Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU

banner 336x280

Tambang bukan sekadar lubang di perut bumi. Ia adalah situs konflik, perebutan nilai, dan artikulasi paling nyata dari kapitalisme global.

Dalam konteks ini, Karl Marx menawarkan kerangka kritis yang tajam untuk memahami bagaimana eksploitasi sumber daya alam, khususnya pertambangan, berkelindan dengan logika akumulasi kapital. Bagaimana keterkaitan antara industri tambang, kapitalisme, dan pemikiran Marx, serta bagaimana relevansinya dalam membaca realitas kontemporer, terutama di wilayah-wilayah pinggiran global seperti Halmahera, Maluku Utara.

Tak dapat dipungkiri, dalam eksploitasi sumber daya, berdiam dengan nyaman kapitalisme yang dibungkus dengan berbagai alasan dan pembenaran : untuk kesejahteraan rakyat, untuk pertumbuhan ekonomi, dan untuk kemajuan daerah.

Kapitalisme, dalam analisis Marx, merupakan sistem produksi yang berbasiskan pada kepemilikan privat atas alat produksi dan penciptaan nilai-lebih (surplus value) melalui eksploitasi tenaga kerja (Marx, 1867). Namun, Marx juga menunjukkan bahwa kapitalisme tidak hanya mengeksploitasi buruh, tetapi juga menghisap alam tanpa henti. Marx menyebut, bahwa alam dianggap sebagai “gratisan” (free gift) bagi kapital, sesuatu yang dapat dieksploitasi tanpa kompensasi.

Dalam konteks pertambangan, logika ini sangat kentara. Sumber daya alam—seperti emas, nikel, batu bara—dianggap tersedia untuk diekstraksi demi mendukung pertumbuhan dan akumulasi kapital. Namun, sebagaimana ditegaskan Foster (2000) yang ditunjukkan dalam Marx’s Ecology, bahwa eksploitasi alam dalam kapitalisme tidak netral. Ia menciptakan ketimpangan ekologis, konflik agraria, dan penggusuran komunitas lokal.
Dan ini dalam beberapa tahun terakhir, terjadi di hampir semua wilayah yang kaya sumber daya.

Penggusuran, pemindahan, pengabaian oleh negara atas rakyat begitu kentara bermain dihadapan rakyat yang tak punya kuasa.

Karena itulah, dalam kandungan tambang, berlaku situs akumulasi dan kekerasan struktural.
Karenanya dapat dikatakan, tambang bukan hanya sekadar ruang ekonomi, melainkan juga ruang politik. Bahkan sebagai “alat pemukul” dengan dalih proyek strategi nasional (PSN), yang dengan itu, tentu meniscayakan industri ini memerlukan penguasaan lahan (primitive accumulation), sebagaimana dikemukakan Marx dalam Capital Volume I (1867), di mana akumulasi kapital diawali dan terus-menerus direproduksi melalui kekerasan : pencabutan hak atas tanah dan kriminalisasi warga lokal.
Di sebagian besar perut bumi Halmahera, penguasaan lahan dan akumulasi kapital ini masih terus bekerja, terus berproduksi, entah sampai kapan.

Tentang hal ini, David Harvey (2003) memperluas konsep tersebut melalui accumulation by dispossession, yaitu cara-cara baru kapital untuk merampas melalui privatisasi, deregulasi, dan komodifikasi ruang hidup. Dalam konteks Indonesia, praktik ini nyata dalam ekspansi industri tambang di beberapa wilayah, termasuk Maluku Utara, di mana warga kehilangan tanah, air, dan udara bersih atas nama pembangunan dan investasi (Walhi, 2022).

Menariknya, kini tambang justru menjadi bagian penting dari rantai pasok global untuk teknologi hijau dan digital. Nikel dari Halmahera, misalnya, digunakan dalam baterai mobil listrik Tesla. Namun, transisi energi yang katanya “hijau” justru melanggengkan eksploitasi di kawasan pinggiran (lihat, Bainton & Holcombe, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa kapitalisme tidak berubah substansinya, melainkan terus bertransformasi secara spasial dan teknologi untuk mempertahankan akumulasi. Dengan kata lain, kapitalisme bertransformasi di era digital.

Hal ini sebagaimana dijelaskan Christian Fuchs (2014) yang menyebutkan, kapitalisme digital sebagai bentuk baru eksploitasi, di mana data dan ekologi sama-sama menjadi komoditas. Dalam konteks ini, tambang tetap menjadi tulang punggung ekonomi global, tetapi dibungkus dalam narasi keberlanjutan palsu (greenwashing).

Membaca tambang melalui kacamata Marx, berarti terdapat pengakuan dan harus diakui, bahwa eksploitasi tidak hanya terjadi pada buruh, tetapi juga telah merasuk jauh pada alam dan komunitas lokal. Untuk itu, kritik Marx penting dipahami, bukan sekadar hanya untuk memahami logika kapitalisme, tetapi juga untuk membayangkan alternatif : bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan alam dibangun secara etis dan berkeadilan.
Bagaimana kelanjutan eksistensi manusia di masa depan, ketika alam tak ada lagi dan habis dieksploitasi untuk memenuhi hasrat keserakahan.

Sebagaimana yang disampaikan Naomi Klein (2014) dalam This Changes Everything, bahwa krisis ekologis bukan hanya soal karbon, tapi soal sistem ekonomi yang menjadikan bumi sebagai ladang eksploitasi tanpa batas. Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali pembacaan radikal atas kapitalisme, sebagaimana dirintis oleh Karl Marx.

Mari kita bertanya, dengan praktik ekstraktif yang demikian masif di sebagian wilayah Halmahera, dan beberapa wilayah di Indonesia, masihkah anak cucu nanti mengenal tentang identitas tanah air mereka yang indah dan permai tak terperi? Ataukah justru mereka merasa terasing dan terpinggirkan? Wallahu’alam []

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *