Dari Alor hinga Filipina Nama Ternate Diabadikan
Halmaherapedia—Pulau Ternate yang kesohor tidak hanya karena menjadi pusat rempah dunia di zamannya. Ternate yang dulu sebagai sebuah kerajaan besar melebarkan sayap kekuasaanya ke mana -mana. Pada Abad ke 16 Kesultanan Ternate mencapai kegemilangan berkat perdagangan rempah dan kekuatan militernya. Jaya kekuasaannya membentang dari wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik. Ternyata nama Ternate yang kesohor itu ikut menjadikan nama pulau di daerah lain diabadikan para diasporanya dengan sama nama.
Nama Pulau Ternate tidak hanya ada di Maluku Utara. Pulau kecil nan mungil dengan Gamalama sebagai puncaknya itu, punya kesamaan nama di sejumlah tempat. Sebut saja Ternate di Alor NTT dan satu lagi Ternate di Filipina. Beberapa sumber yang dikutip Halmaherapedia.com memberi gambaran Pulau Ternate yang diabadikan di daerah tersebut memiliki keterkaitan erat dengan Ternate di Maluku Utara.
Dikutip dari buku Cerita Alor Pantar berdasarkan riset Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang ditulis Dr Sastri Sunarti tahun 2022 ada pulau Ternate di Alor. Di Alor secara kultural terbagi atas dua wilayah yakni masyarakat Nuh Mate (Gunung Besar) yang mayoritas beragama Kristen atau Katolik dan masyarakat Nuh Atinang (Gunung Kecil) atau pesisir yang mayoritas beragama Islam.
Masyarakat Nuh Atinang umumnya menggunakan bahasa daerah Alurung yang dipakai di Alor Besar, Alor Kecil, dan sebagian Pulau Pantar. Agama Islam yang dipeluk mayoritas penduduk di wilayah Nuh Atinang ini pendatang, terutama dari Kerajaan Ternate. Berdasarkan penuturan para pemuka masyarakat setempat yang datang ke daerah ini adalah lima bersaudara dari Ternate sebagai penyebar agama Islam di Alor-Pantar. Memang ada banyak versi cerita lisan mengenai penyebaran agama Islam dari Kerajaan Ternate ke Pulau Alor- Pantar. Versi orang Alor Besar Islam dibawa dan disebarluaskan oleh lima bersaudara dari Kerajaan Ternate pada abad ke-14 di masa Sultan Babullah (1535–1570) yang merupakan sultan ke-26 dari Kesultanan Ternate.
Adapun kelima bersaudara itu masing-masing bernama Ilyas Gogo, Jang Gogo, Djou Gogo, Boi Gogo, dan Kimales Gogo. Mereka berlayar dari Ternate dengan sebuah perahu layar yang bernama Tuma’ninah, artinya berhenti atau singgah sebentar. Mereka menyinggahi daratan Alor pertama kali di daerah Yetelei (Tanjung Bota, Desa Alila). Ketika merasa haus mereka mencari sumber mata air di sekitar pantai, tetapi tidak menemukannya. Karena itu, Bapak Jang Gogo menusukkan tongkatnya ke pasir yang kemudian memancarkan air tawar dan bisa memuaskan dahaga mereka.
“Hingga saat ini mata air itu masih ada di Bota, Desa Alila, Kecamatan Alor Barat Laut dan diberi nama Mata Air Banda. Setelah itu mereka berlima meneruskan perjalanan dan kembali singgah di suatu tempat bernama Tang-Tang (sekarang Desa Aimoli) kemudian bertemu Raja Baololong (raja di Kerajaan Bunga Bali). Dalam pertemuan itu mereka saling bertukar cendera mata. Kelima Gogo bersaudara memberikan sebuah nekara dan Raja Baololong memberikan pisau khitan kepada kelimanya. Dari Tang-Tang kemudian mereka berpisah dan berjanji bertemu kembali di Pusung Rebong(pusat Kerajaan Bunga Bali).
Pada saat di Bunga Bali terjadi kesepakatan antar kedua belah pihak, yakni salah seorang dari kelima Gogo bersaudara tersebut harus tinggal di Bunga Bali untuk menyebarkan Islam yang kemudian dilaksanakan Bapak Jang Gogo dengan berbekal sebuah Al-Qur’an kulit kayu dan sebuah pisau khitan. “Akhirnya, keempat saudaranya berlayar kembali dan menunaikan tugas penyebaran Islam di beberapa tempat,” demikian disampaikan Sulaiman Tulimau 58 tahun, raja dari Alor Besar seperti dikutip dari (https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/866/ternate-dalam-cerita-lisan-alor-pantar)
Versi lain menyebutkan kedatangan penyebar Islam dari Ternate masuk ke Alor pertama kali di Desa Gelubala—yang sekarang dikenal dengan Baranusa—di Pulau Pantar. Pada tahun 1522 seorang mubalig dari Maluku Utara bernama Mohtar Likur sampai di Gelubala. Ia datang dengan membawa Al-Qur’an dari kulit kayu dan seperangkat alat khitan. Ia menetap di sana dan menyebarkan agama Islam.
Informasi tentang penyebaran agama Islam di wilayah Galiau (Pantar) pada masa lalu juga diperkuat melalui catatan Pigafetta yang mengikuti rombongan Magelhaens pada tahun 1480–1521 ke wilayah Hindia Belanda. Pigafetta singgah di Alor pada tahun 1522 ketika mereka akan berangkat kembali ke Eropa. Ia mencatat bahwa di Pulau Pantar terdapat bangsa Moor (Muslim) yang berdiam di kampung bernama Moloku. Islam kemudian menyebar ke wilayah timur dan mulai masuk ke desa-desa di Pulau Alor, seperti di Bunga Bali, Alor Besar sekarang, kemudian Alor Kecil, Dulolong, dan Pulau Ternate di Kabupaten Alor.
Setahun setelah kedatangan Mohtar Likur di Bunga Bali, datang juga lima bersaudara Gogo dari Ternate ke Alor dengan tujuan yang sama, yakni mengembangkan agama Islam. Selain itu, juga terdapat seorang mubalig bernama Abdullah. Mereka meninggalkan Maluku Utara karena tidak mau dijajah oleh Portugis.
Kelima Gogo bersaudara itu menetap di tempat yang berbeda supaya misi dakwahnya menyebar. Iang Gogo di Alor Besar atau Bunga Bali, Ima Gogo menetap di Kui (Alor Barat Daya), Karim Gogo di Malaga (Pantar), Sulaiman Gogo di Pandai, desa paling utara di Pulau Pantar, sementara Yunus Gogo dan Abdullah menetap di Baranusa. Iang Gogo menyebarkan agama Islam di Alor Besar. Sedikit demi sedikit masyarakat di pesisir Alor mulai meninggalkan animisme dan dinamisme mereka. “Hingga saat ini wilayah pesisir Alor menjadi pusat persebaran muslim terbesar di Kabupaten Alor, agama kedua terbesar setelah Kristen Protestan,” kisah pemuka masyarakat setempat bernama Arif Panara (60 tahun) seperti dikutip dari https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/artikel-detail/866/ternate-dalam-cerita-lisan-alor-pantar.
Tenun Alor pusatya di Pulau Ternate,foto istimewa
Setelah berhasil mengembangkan Islam di Alor Besar, Iang Gogo kemudian melakukan syiar agama ke Alor Kecil atau Lefo Kisu kemudian dilanjutkan hingga ke wilayah timur, yakni ke Dulolong. Ketiga wilayah ini kemudian ditetapkan sebagai tiga desa yang saling bersaudara dan disebut dalam pantun adat Alurung dengan istilah dan didirikan Saku Baladuli. Saku Baladuli ini kemudian menjadi nenek moyang suku Bourae. Dalam versi Arif Panara, Iang Gogo kemudian menikah dengan perempuan Alor Besar bernama Bui Haki. Hasil pernikahan keduanya melahirkan silsilah keturunan, yaitu (1) Tahi Onong Gogo, (2) Boi Raja Tahi, (3) Ramanehe Boi, (4) Pati Raja Boi, (5) Salama Kae Pati, (6) Aboi Jaga Salama, (7) Taluti Aboi, (8) Nae Rae Taluti, (9) Gati Angin Nae, (10) Ola Gati, (11) Panggo Ola, (12) Salim Panggo Gogo, dan (13) Nurdin Gogo.
Karim Gogo memilih menyebarkan Islam di Malaga sebagai tempat domisili. Malaga sekarang disebut Belagar, Pantar Timur. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan sebuah ceret atau kendi untuk wudu dan tongkat yang pernah ditinggalkan di Blagar. Mereka juga mendirikan musala dan masjid. Sejak itu Islam mendapat tempat di tengah masyarakat setempat dan menjadi desa Islam hingga kini.
Jejak Ternate di Kabupaten Alor
Jejak peninggalan Islam yang dibawa oleh penyebar agama Islam dari Ternate pada masa lalu masih tersimpan hingga saat ini di Alor Besar. Jejak itu berupa peninggalan Al-Qur’an tua dari kulit kayu dan berangka tahun 1252 H. Al-Qur’an kulit kayu tersebut tersimpan dengan baik di rumah keturunan Iang Gogo yang berada dalam lingkungan Istana Pusung Rebong di Alor Besar.
Jejak orang Ternate di Pulau Alor juga ditandai dengan penamaan salah satu pulau di Alor dengan nama Ternate. Pulau ini berhadap-hadapan dengan wilayah Alor Besar dan saat ini menjadi salah satu sentra kain tenun di Kabupaten Alor. Di pulau ini para pelaut dari Ternate menggali sebuah sumur di Pantai Ternate, tepatnya di Desa Uma Pura. Penyebar agama Islam dari Ternate juga mewariskan imam masjid pertama di Pulau Alor, yang bernama Abdullah Dailang. Ia kemudian menyerahkan jabatannya kepada Muktar Likur, orang Alor asli. Mereka kemudian membentuk sistem pemerintahan yang mengadopsi sistem kabilah (kafilah), seperti di Arab. Oleh sebab itu, sistem pemerintahan adat di Alor juga mengenal dualisme kepemimpinan, yakni Raja Langit sebagai pemimpin agama dan Raja Bumi sebagai pemimpin sipil. Demikian juga dalam kepengurusan agama di Alor yang menerapkan tiga model kepemimpinan dalam agama Islam, yakni imam, khatib, dan sumpit. Sistem pemerintahan secara Islam ini berkembang hanya di wilayah pesisir, yakni di wilayah mayoritas Muslim, seperti di Alor Kecil, Alor Besar, Kumbang Futung, dan pesisir Pulau Pantar. (bersambung)
Diolah oleh M Ichi wartawan Halmaherapedia.com