JATAM Sebut Pencemaran sawah dan Pesisir Haltim itu Kejahatan Ekologi

Halmaherapedia- Kasus pencemaran lingkungan di pesisir Subaim dan sejumlah desa Kecamatan Wasile Halmahera Timur (Haltim), yang diduga akibat aktivitas pertambangan PT Alam Raya Abdi (PT ARA) dan PT Jaya Abdi Semesta (PT JAS terus mendapatkan sorotan publik. Dugaan  pencemaran  oleh dua perusahaan tambanh nikel tersebut dinilai sebagai bentuk kejahatan ekologi. Halini  sudah berulang kali  terjadi dan mengancam ruang hidup warga lokal.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional Melky Nahar menegaskan, pencemaran di pesisir Wasile Haltim yang merusak sawah, sumber air, dan laut menunjukkan jika operasi PT JAS dan PT ARA sejak awal tidak mengakui hak hidup petani dan nelayan. Hingga menjadikan desa hanya sebagai zona buangan limba hasil keruk nikel. Ironisnya di saat yang sama, pemerintah daerah maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan perusahaan sama‑sama hadir cepat ketika bicara investasi, namun absen ketika warga menuntut ruang hidup yang bersih dan layak.

“Bagi kami kasus Subaim dan beberapa desa di Wasile ini sudah masuk kategori kejahatan ekologis yang dibiarkan negara, bukan lagi sekadar pelanggaran teknis semisal soal pengelolaan limbah,” tegasnya kepada Halmaherapedia, Jumat (5/12).

Ia menyebut berulangnya pencemaran PT JAS dan PT ARA tanpa sanksi tegas mencerminkan bahwa pemerintah, dari kabupaten, Provinsi maupun pusat, memilih melindungi investasi tambang daripada melindungi lahan pertanian, air bersih, dan laut yang menjadi sumber hidup Utama warga. Ia juga menilai buruknya komitmen Pemprov menyelesaikan kasus pencemaran lingkungan. Sebab berulang kali kasus yang sama hanya selesai pada janji Gubernur, tapi penyelesaian justru tak ada sama sekali.

“Selama ini masalah pencemaran hanya sebatas janji penelusuran, terbukti hanya berhenti di panggung wawancara, tidak turun menjadi kebijakan konkret di lapangan. Artinya Gubernur tidak komitmen selesaikan kasus pencemaran yang ancam ruang hidup warga,” tekannya.

Menurutnya kasus pencemaran berulang dan kerusakan serius pada lahan pertanian, sumber air, dan pesisir seharusnya sudah ada kebijakan yang tegas. Lantaran telah ada dasar hukum untuk mencabut IUP PT JAS dan PT ARA secara sangat jelas. Sebab berbagai regulasi semisal undang-undang (UU)Minerba, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sampai PP tentang sanksi administratif memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menjatuhkan sanksi bertahap hingga pencabutan izin jika perusahaan melanggar baku mutu, mengabaikan AMDAL/RKL‑RPL, serta menimbulkan pencemaran dan kerusakan yang mengancam kesehatan dan keselamatan warga. “Karena itu harus ada kebijakan tegas. Sayangnya Pempus, dan Pemda tutup mata,” sesalnya.

Ia menambahkan dalam kasus Subaim, laporan warga, temuan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), serta fakta bahwa pencemaran terjadi berulang kali menunjukkan perusahaan gagal memenuhi kewajiban dasar pengelolaan lingkungan dan pemulihan kerusakan. “Olehnya jika pemerintah tetap hanya memberi teguran tanpa mencabut IUP, maka pemerintah sendiri yang melanggar prinsip kehati‑hatian dan hak konstitusional warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sekaligus mengirim pesan bahwa pelanggaran hukum oleh korporasi tambang boleh dinegosiasikan,” pungkasnya. Sebelumnya terkait dalam kasus di Haltim ini kedua perusahaan ini menolak mengakui bahwa kejadian ini karena akibat aktivitas mereka. Setidaknya hal ini tergambar dari penjelasakn, Kepala DLH Maluku Utara saat turun melakukan  corss cek lapangan pada 27 November 2025 ke lokasi perusahaan. (adil)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *