Pidie Jaya, 28/11 (ANTARA) – Kaum ibu dibantu anak perempuannya menyuci pakaian mereka di air got yang berwarna hijau keruh pada Jumat sore itu, 28 November 2025.
Mereka membawa ember penuh pakaian kotor, duduk bersimpuh di lumpur. Setengah kaki mereka masuk ke got, dan kedua tangan sibuk mencuci baju.
Pemandangan sangat kontras ini terjadi di Desa (Gampong) Meunasah Krueng, Kecamatan Meuruedue, Kabupaten Pidie Jaya, salah satu lokasi bencana banjir di Provinsi Aceh.
Tidak ada raut wajah muram di lokasi itu, melainkan mereka bersenda gurau sambil tertawa.
“Yang kita lakukan sekarang hanya bisa tertawa untuk menghibur diri,” kata Kuriyah, sambil tersenyum.
Kuriyah adalah salah satu ibu yang mencuci baju sambil tertawa. Ia mengatakan banjir tiba-tiba datang pada 25 November silam karena hujan deras membuat air Sungai (Krueng) Mereudue meluap. Keluarganya tidak sempat menyelamatkan harta benda.
Di sekeliling mereka, saat ini, banjir sudah surut, setelah empat hari air “mengepung” desa yang berada di tepi Jalan Lintas Sumatera itu. Masalah jauh dari usai karena lumpur yang sisa banjir tingginya mencapai satu meter membenam ratusan rumah warga dan kendaraan mereka.
Ia mengatakan bahwa warga terpaksa menggunakan air di got untuk mencuci. Warga sulit mendapatkan air bersih, bahkan sudah tiga hari mereka tidak mandi. Itu semua di luar kebiasaan, tapi bencana telah memaksa mereka melakukan sesuatu di luar kebiasaan untuk tetap bertahan hidup.
Sampai saat, keluarga para korban belum bisa pulang ke rumah karena lumpur masih menutup setengah bangunan rumah.
“Mau pulang belum bisa, rumah ibu masih tertutup lumpur. Ya sekarang baru bisa mencuci baju yang bisa diselamatkan,” katanya.
Kuriyah dan keluarga mengaku beruntung karena bisa mengungsi ke rumah familinya dan rumahnya tidak rusak parah. Sementara itu, banyak warga di desa itu rumahnya terancam tak bisa ditempati lagi karena ada yang terkubur lumpur, hingga tersisa atapnya saja.
Ia juga masih merasa beruntung dibandingkan warga korban banjir di daerah lain yang kehilangan nyawa akibat bencana itu. Di Pidie Jaya, sedikitnya ada empat warga meninggal akibat bencana alam tersebut.
Karenanya, dengan menghibur diri sambil tertawa, keadaan itu bisa sedikit mengusir kesedihan. Meskipun begitu, ia sangat berharap bantuan segera datang. Sampai Jumat ini belum ada bantuan dari pemerintah sampai ke gampong itu.
“Yang kita butuhkan sekarang bantuan air bersih, makanan, dan listrik bisa menyala lagi,” ujarnya.
Aceh, kini berstatus siaga darurat bencana hidrometerologi karena bencana banjir dan longsor melanda 16 kabupaten dan kota di provinsi ujung barat Indonesia itu. Data Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) pada Kamis (27/11) menyatakan sedikitnya 20.000 warga mengungsi dan korban jiwa 22 orang. Jumlah itu masih akan bertambah karena banyak lokasi bencana masih terisolir, seperti di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
Kendala utama penanganan bencana di Aceh adalah aksesibilitas. Banyak jalan dan jembatan terputus, salah satu titik yang terparah adalah Kecamatan Meureudue, tempat tinggal Kuriyah. Dampaknya, mobilisasi bantuan ke daerah bencana terasa lambat.
Putusnya jalan nasional yang menghubungkan Banda Aceh – Medan itu, membuat nadi ekonomi untuk sementara terhenti karena arus barang dan orang terganggu.
Namun, perlahan, tapi pasti, pemerintah mulai bisa membuka akses jalan yang terputus. Kementerian PU, melalui Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Aceh, mengerahkan belasan alat berat untuk menyambung Jalan Lintas Sumatera Banda Aceh – Medan, yang terputus di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.
“Targetnya kami membersihkan sedimen lumpur selesai dalam dua hari dan menyambung jalan yang terputus ke Jembatan Mereudue,” kata Pejabat Pembuat Komitmen 1.2 BPJN Aceh Rita Marleni kepada ANTARA di Pidie Jaya.
Alat berat terus bekerja siang dan malam, setelah banjir mulai surut di daerah Mereudue. Alat berat yang dikerahkan, antara lain 12 dump truk, dua eskavator, dua grader, dan loader.
Hingga Jumat sore, alat berat belum bisa menjangkau titik longsor utama di Jembatan Mereudue karena lumpur yang tebal menutupi badan jalan nasional itu.
“Banjir sudah surut, tapi sedimen lumpur sangat tebal, yang mencapai 50 sentimeter, hingga satu meter,” kata Rita.
Ia mengatakan tantangan yang dihadapi petugas dalam bekerja adalah akses ke BBM alat berat dan tidak ada jaringan telekomunikasi. Hingga kini, jaringan listrik dan komunikasi masih terputus.
Tim BPJN Aceh merencanakan akan menimbun jalan yang terputus ke Jembatan Mereudue. Namun, itu baru bisa dilakukan setelah material lumpur sudah bersih dari jalan dan ketika arus air sungai tidak lagi deras.
Panjang jalan yang terputus ke jembatan panjangnya 50 meter dan lebar 11 meter. Rencananya, tim BPJN Aceh akan melakukan penimbunan saja dan memperkuat kedua sisinya karena konstruksi jembatan masih berdiri.
Pemerintah pusat dan daerah harus segera memastikan bahwa negara hadir untuk membantu rakyatnya dari bencana. Jangan sampai tawa di tengah bencana itu berganti dengan tangisan lara.
Oleh FB Anggoro
Editor : Masuki M Astro

















