HALMAHERAPEDIA- Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengecam keras langkah pengadilan Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan yang memvonis masyarakat Adat Maba Sangaji Halmahera Timur (Haltim) bersalah. Ini menyusul pengadilan negeri Soasio Tikep menjatuhkan putusan 11 masyarakat adat bersalah dengan kurungan penjara selama lima bulan delapan hari, pada sidang putusan, Kamis (16/10).
Koordinator JATAM Nasional Melky Nahar menyatakan putusan pengadilan Negeri Soasio Tidore Kepulauan menandai semakin tergerusnya keadilan hukum di negeri ini. Karena yang dihukum bukanlah perusak lingkungan, melainkan para penjaga hutan dan sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat. Padahal fakta di lapangan menunjukkan kriminalisasi ini terjadi karena warga menentang aktivitas pertambangan nikel oleh PT Position, perusahaan yang telah merampas hutan adat, mencemari aliran sungai hingga merengsak merusak lahan pertanian warga.
“Ini menunjukkan proses penegakan hukum terhadap para pejuang lingkungan ini masih sangat buruk dan pelanggaran prosedur. Pejuang lingkungan seharusnya dilindungi,” tegasnya, Jumat (17/10/2025).
Ia menyebut berdasarkan temuan lapangan yang Jatam himpun, penangkapan terhadap 27 warga dilakukan saat mereka sedang menggelar ritual adat sebagai bentuk protes atas perusakan hutan oleh PT Position. Namun sebagian besar warga diangkut menggunakan kendaraan milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) tindakan yang menampilkan ada kaitan antara aparat kepolisian dan korporasi tambang.
“Dari sisi ini Polisi bukan hanya gagal secara independen, namun telah berubah fungsinya seolah menjadi perpanjangan tangan perusahaan tambang. Dalam proses interogasi, warga mengalami intimidasi, pemaksaan tandatangan tanpa pendamping hukum, dan bahkan kekerasan fisik,” tekannya.
Menurutnya kejahatan semacam ini jelas bukan penegakan hukum, melainkan pelanggaran HAM dan bentuk kriminalisasi ekologi dan rakyat yang menuntut keadilan. Bagi dia vonis hakim terhadap warga adat Maba Sangaji juga menampilkan pengingkaran terhadap peraturan-undangan yang melindungi pembela lingkungan hidup. Padahal hak warga negara untuk memperjuangkan kelestarian lingkungan diakui dan dilindungi secara eksplisit melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.22 Tahun 2018 tentang Perlindungan Pembela Lingkungan Hidup, serta Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Anti-SLAPP (Gugatan Strategis Terhadap Partisipasi Masyarakat).
“Seharusnya regulasi perlindungan hukum terhadap pejuang lingkungan ini mestinya menjadi bahan pertimbangan hukum putusan hakim. Bukan mengabaikan regulasi-regulasi tersebut. Ini membuktikan pengadilan dan jaksa telah menegaskan bahwa hukum kini digunakan untuk membungkam partisipasi masyarakat dan mengukuhkan impunitas perusahaan,” tekannya.
Ia menyebut vonis terhadap 11 warga adat Maba Sangaji ini bukan hanya pukulan bagi warga Malut, tapi juga sebuah peringatan bagi seluruh komunitas adat dan pembela lingkungan di Indonesia. Karena sewaktu-waktu kasus serupa juga akan menimpah warga adat yang memperjuangkan ruang hidupnya.(adil)
Melky mendesak Mahkamah Agung ((MA) RI meninjau ulang vonis hakim PN Soasio dan memulihkan nama baik serta hak-hak 11 warga adat Maba Sangaji serta meminta Kepolisian melakukan pemeriksaan internal terhadap aparat yang terlibat dalam penangkapan ilegal dan penggunaan fasilitas perusahaan tambang untuk operasi penegakan hukum.
“Kami juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup segera menjalankan amanat Permen LHK No. P.22/2018 dan memastikan mekanisme perlindungan nyata bagi pembela lingkungan hidup serta Presiden harus turun tangan langsung untuk menghentikan praktik kriminalisasi pembela lingkungan dan mencabut izin penambangan PT Position di Haltim, serta memastikan pemulihan lingkungan hidup dan sosial bagi masyarakat terdampak,” pungkasnya.













