Halmaherapedia –Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid memilih tak berkomentar banyak soal masalah 11 warga Halmahera Timur yang diduga dikriminalisasi dalam perjuangan membela tanah mereka dari aktivitas tambang. Nusron menolak terlibat lebih jauh dalam kasus penangkapan 11 warga adat Maba-Sangaji di Halmahera Timur Maluku Utara, yang hingga kini masih memicu protes sejumlah pihak.
Dimintai tanggapan terkait persoalan ini usai menghadiri rapat koodinasi Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI Maluku Utara, Maluku dan Papua di Kota Ternate, Nusron Wahid menegaskan kewenangan kementeriannya terbatas pada pengelolaan lahan tertentu. Karena itu perlu ada kejelasan status tanah sebelum pihaknya bisa turun tangan.
“Tanahnya tanah apa dulu. Ada macam-macam. Ada tanah hutan, ada juga areal penggunaan lain (APL). Kalau yang masuk kawasan hutan, tanyakan ke Menteri Kehutanan. Kalau APL, sebisa saya jawab,” ujar Nusron usai rapat koordinasi di Bela International Hotel, Sabtu, (23/8/2025).
Diketahui bahwa kasus ini bermula ketika masyarakat adat Maba-Sangaji, pada 16 hingga 18 Mei 2025, menggelar aksi protes menentang operasi pertambangan nikel yang dilakukan PT Position di kawasan yang diklaim sebagai tanah adat.
Aksi penolakan itu tidak dilakukan dengan cara kekerasan atau demonstrasi konvensional, melainkan melalui ritual adat yang sarat simbolisme. Dengan ritual itu, masyarakat hendak menunjukkan bahwa kehadiran perusahaan tambang di wilayah mereka tidak hanya berpotensi merusak ekosistem hutan dan sumber air, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup dan identitas budaya mereka sebagai masyarakat adat.
Dalam aksi itu bukannya mendapatkan ruang dialog atau mediasi dari pemerintah daerah maupun pihak perusahaan, aksi itu justru berujung tindakan represif aparat keamanan. Kepolisian Daerah Maluku Utara menuding para peserta aksi melakukan tindakan yang dikategorikan pelanggaran hukum. Pada 19 Mei 2025, sebelas warga ditangkap dan hingga kini masih mendekam di rumah tahanan, menunggu proses hukum.
Warga juga tidak memperoleh ruang dialog atau mediasi dari pemerintah daerah maupun pihak perusahaan. Aksi tersebut justru berujung pada tindakan represif aparat keamanan. Kepolisian Daerah Maluku Utara menuding para peserta aksi melakukan tindakan yang dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Pada 19 Mei 2025, sebelas warga ditangkap dan hingga kini masih mendekam di rumah tahanan, menunggu proses hukum selanjutnya.(aji/rif)