Seperempat Abad Provinsi Maluku Utara
Oleh: Syaiful Bahri Ruray
Pepatah Arab lama mengatakan bahwa sang waktu adalah pedang, jika kita tak hati-hati dan pandai menggunakannya, ia akan balik menebas diri kita. Atas dahsyatnya sang waktu, bahkan Tuhan sendiri bersumpah demi sang waktu, sesungguhnya kita dalam keadaan merugi, terkecuali bagi mereka yang beriman, beramal sholeh, dan yang memperjuangkan kebenaran dengan penuh kesabaran (Al Qur’an. Surah Al Ashr).
Makna waktu disini, melampaui makna pepatah Barat the time is money, dimana waktu hanya ditentukan dengan duit belaka. Karena ada perbedaan peradaban sebagai platform kultural dan nilai diberbagai belahan dunia. Nakh, tak terasa Provinsi Maluku Utara pun kini memasuki usia seperempat abadnya, sebuah usia the golden age, dalam ukuran manusia normal.
Oleh seorang penyair sastrawan Bang Sem Haesy, yang minggu lalu menelusuri pelosok-pelosok Kepulauan Maluku, untuk mencari jejak peradaban rempah, beliau mengatakan kepada saya, bahwa jika Maluku Utara itu dibangkitkan kesadaran kulturalnya, ia akan menjadi platinum, bukan sekedar emas. Maluku Utara sesungguhnya adalah platinum peradaban. Sayangnya anak negerinya sendiri sering bahkan kurang menyadari akan eksistensi dirinya sendiri.
Semoga saja introduksi pendek ini, menjadi sebuah cermin bagi kita semua, untuk lebih memperkokoh komitment membangun Maluku Utara yang lebih baik bagi semua orang, terutama anak negerinya. Karena ditengah perjalanannya, Maluku Utara, sejak terbentuk pada Oktober 1999, seakan mengalami stagnasi, tak sebagaimana cita-cita awal provinsi ini dibentuk. Sejak dirumuskannya Pasal 18 UUD 1945, yang disahkan menjadi konstitusi pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, daerah-daerah diberikan kekebasan untuk menentukan format wilayah otonominya.
Bahkan Ir. Soekarno pun menawarkan daerah-daerah eks kerajaan/kesultanan di Indonesia untuk menentukan bentuk pemerintahannya sendiri. Disamping itu, kita juga mengenal adanya BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleg) yang dibentuk di Bandung pada 7 Juli 1948, semacam persekutuan 15 kerajaan-kerajaan di Indonesia, yang diketuai Sultan Hamid II dari Pontianak. Bahkan BFO turut hadir sebagai delegasi resmi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada 1949.
Gagasan otonomisasi mulai didengungkan saat itu, dimana Maluku Utara, oleh Sultan Iskandar Muhammad Djabir Syah, direspon melalui pertemuan di Gedung Bioskop Capitol (Supermarket Istana sekarang), untuk membentuk Provinsi Maluku Utara. Namun saja konsepsi federal ini, juga ditunggangi oleh kepentingan van Mook, hingga NIT dibubarkan pada Konferensi Malino, dimana ikut hadir Iskandar Muhammad Djabir Syah selaku Mendagri NIT, Salim 3 Fabanyo, dan Dr. Chassan Boesoeiri selaku delegasi Maluku Utara. Bentuk negara RIS, hasil KMB 1949 tersebut akhirnya bubar jalan pada 1950. Indonesiapun kembali ke bentuk awal sebagai negara kesatuan setelah Mosi Integral M. Natsir pada 3 April 1950.
Bahwa gagasan Provinsi Maluku Utara kembali diajukan pada 1957, seiring Belanda mengingkari melaksanakan putusan KMB yang ditandatangani bersama di Den Haag 1949 tersebut. Maluku Utara pun maju terdepan, karena sejak Konferensi Denpasar (1946), Sultan Tidore Zainal Abidin Syah tegas menolak bentuk federal yang diprakarsai Belanda. Protes keras dilakukan Sultan Tidore, atas klausul West Guinea (Irian Barat) diserahkan Belanda kepada Indonesia setahun setelah penandatanganan KMB (1949).
Mengingat sejak perdebatan BPUPKI/PPKI, tentang wilayah Indonesia, telah terjadi perdebatan sengit atas status West Guinea (Irian Barat) antara Mohamad Hatta, dan kubu Soekarno, Mr. M. Yamin, dkk. Sidang yang dipimpin Dr. Radjiman Wedyodiningrat tersebut, akhirnya memutuskan bahwa West Guinea adalah eks Hindia Belanda, yang seharusnya dijadikan wilayah NKRI sesuai Konvensi London (1814) antara Belanda dan Inggris. Implikasi lokalnya, adalah Maluku Utara, wilayah pertama di Indonesia yang mencetuskan diri menjadi provinsi untuk mendukung perjuangan pengembalian Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Resolusi DPRD Peralihan Maluku Utara (19 September 1957), menegaskan akan hal tersebut.
Maluku Utara dideclare secara resmi, sebagai basis perjuangan tersebut. Maluku Utara mendirikan DAKOMIB (Dana Kopra Maluku Irian Barat) saat itu untuk menopang perjuangannya. 4 Namun saja, perjuangan tersebut, sempat mandeg karena pecah peristiwa PRRI/PERMESTA (1957-1958), yang mana sangat berimplikasi pada Maluku Utara. Hingga pada 1963- 1964 dimulai lagi didengungkan perjuangan Provinsi Maluku Utara oleh putra-putra daerah terbaik saat itu. Periode ini mempersembahkan 1000 Ton Kopra untuk Dana Revolusi kepada Bung Karno dan mendirikan Universitas Khairun. Namun saja perjuangan panjang ini, terhenti seiring beralihnya kekuasaan Soekarno ke Soeharto karena tragedi berdarah 1965. Sebagai salah satu dari delapan provinsi awal kemerdekaan, hanya Malukulah yang belum pernah dimekarkan sama sekali.
Nanti pada 27 Oktober 1998, ditengah hiruk pikuk reformasi yang seakan tak berujung tersebut, Dr.Ir. Saleh Latuconsina, M. Eng (Ketua Bappeda Provinsi Maluku) yang mengirim faksimile kepada Pemda Kabupaten Maluku Utara, untuk memberi masukan yang akan diberikan kepada Gubernur Maluku Akib Latuconsina, yang sedianya akan menghadiri Sidang Istimewa MPR pada 10 November 1998, selaku anggota Fraksi Utusan Daerah di MPR. Lalu diadakanlah forum diskusi untuk itu dilantai 3 kantor Bupati, yang dibuka Kolonel Abdullah Assagaf, dengan menghadirkan 3 pembicara, Syamsir Andili (Walikota Ternate), Hasanuddin MD (Dekan Fekon Unkhair), Syaiful Bahri Ruray (FosHal).
Forum tersebut kemudian membentuk tim perumus Muhadjir Albaar, Hein Namotemo, Ikbal Djoge, Muhdar Arief, Malik Ibrahim, dan lain lain. Forum tersebut sepakat pembentukan Provinsi Maluku Utara, harus diperjuangkan ulang, untuk mengisi reformasi 1998. Agar negeri ini tidak terjebak sekedar mengikuti hiruk pikuk 5 nasional semata. Harus ada nilai tukar yang adil dan sebanding bagi Maluku Utara dalam menyikapi reformasi. Jadi jika kita lakukan timeline atas gagasan Provinsi Maluku Utara, maka generasi ke 4 perjuangan Provinsi Maluku Utaralah yang berhasil membawa cita-cita awal ini, menjadi kenyataan.
Maluku Utara adalah provinsi yang terpanjang waktu perjuangannya dalam sejarah Indonesia, karena melalui kurang lebih 52 tahun perjuangannya, cetus Mantan Mendagri Jenderal (Purn) Rudini saat itu. Tentu saja dalam usia seperempat abad sekarang, setelah diresmikan pada Oktober 1999, kita perlu mejadikan sang waktu, menjadi mata pisau untuk mengasah lagi, seberapa tajam komitment kolektif terdahulu, telah tercapai. Karena masih banyak agenda yang belum terlaksana dengan baik dan apik, masih bayak pekerjaan rumah yang belum juga selesai, semisal status ibukota yang seakan tak berujung.
Belum lagi isu ekologi (ekosida) ditengah gegap gempita isu hilirisasi tambang yang menjadikan Maluku Utara sebagai ujung tombak bagi pertumbuhan ekonomi nasional tersebut. Karena angka kemiskinan, kemorosotan tingkat pendidikan, inflasi yang tinggi, lack of infra structure, masih menjadi kebutuhan dasar atau basic demand Maluku Utara yang belum sepenuhnya terpenuhi dengan baik. Kehadiran investasi besar, tidak selalu sebanding dengan meningkatnya kemakmuran rakyat banyak. Mungkin perencanaan yang integralistik, berbasis kondisi geografis dan sosio-kultural, haruslah direkatkan lagi untuk menjadikannya sebagai komitment birokrasi dan akademisi lokal, juga para aktivis Maluku Utara.
Perlu disusun ulang konsep tentang apa makna Maluku Utara ditengah dunia dalam multiple crises seperti sekarang. Hal yang tak kalah penting adalah rendahnya mobilitas vertikal Maluku Utara di pusat kekuasaan, menjadikan posisi Maluku Utara masih marginal dari sisi apapun dimata pusat kekuasaan. Untuk para aktivis, yang terlibat dalam mendukung hasil forum 27 Oktober 1998, perjuangan anda-anda belumlah selesai.
Banyak hadir kompleksitas kekinian, yang masih membutuhkan modal sosial untuk menjadi daya dorong guna mewujudkan idealitas awal pembentukan Provinsi Maluku Utara ke jalan yang benar. Masih banyak catatan tertinggal yang belum tercatat dengan baik dan detail, dalam merekontruksi memori kolektif kita, atas hadirnya Provinsi Maluku Utara. Bahkan sejarah perjalanan provinsi inipun perlu direvisi lagi, sebagai sebuah gerakan kolektif yang masif saat itu.
Masih banyak detail perisitiwa yang belum sempat tercatat dengan baik secara tekstual. Sejarah adalah kitab yang selalu terbuka halamannya, untuk ditambah dan dikoreksi, bahkan bisa dihapus, sebagaimana hakikat ilmu taka da kebenaran sejati. Peristiwa di Maluku Utara, bukanlah persitiwa yang berdiri sendiri an-sich, tanpa korelasinya dengan situasi diluar Maluku Utara. Prof. Mohtar Mas’oed (UGM) mengajukan dalam membahas sebuah peristiwa politik, harus melihat situasi global, regional, nasional, barulah menganalisis situasi lokal dan peran aktor-aktor pelakunya.
Karena tidak ada peristiwa politik atau sejarah yang berdirisendiri, semunya berkorelasi secara kontekstual satu sama lainnya. Intinya, apa yang terjadi di Maluku Utara, bukanlah sebuah ruang kosong, atau sekedar peristiwa domestik dan lokal semata. Disamping itu, mungkin harus di redisain lagi, seperti apa Maluku Utara ke depan. Agar forum seperempat abad Provinsi Maluku Utara ini, tidaklah sekedar sebuah forum nostalgia belaka. Namun forum untuk meluruskan memori kolektif, sebagai jalan terbaik untuk merekontruksi komitment kolektif kita atas Maluku Utara, agar tak mengalami deviasi karena tenggelam dalam perjalanan sang waktu.
Provinsi Maluku Utara dibangun dengan idealisme, penuh suka dan duka demi cita-cita menyejahterakan segenap rakyatnya, jangan dijadikan bancakan oleh para penikmat kekuasaan, para broker, dan menjadi bancakan korupsi masif karena hasil perjuangan yang telah dibajak. Kita butuh birokrasi yang baik dan kuat serta bersih berkomitment, untuk menjadi engine of governance yang berpihak kepada rakyat.
Dunia kita sedang berhadapan dengan megathreats yang mengancam masa depan. Tidak ada wilayah manapun yang akan tehindari dari fenomena besar ini. Memang dunia dewasa ini, tengah mengalami VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), yang membedakan realitas hari ini dengan situasi 25 tahun silam. Konsekwensinya, kita butuh pemimpin visioner yang jernih agar tidak terkooptasi pada risiko dan dampak VUCA (gejolak, tidak pasti, kompleks, ambigu) tersebut. Untuk menghadapnya, dibutuhkan 4 hal; memilih pemimpin yang tepat, team work yang solid serta berkemampuan, memahami transformasi digital, dan pendidikan yang memadai. Saatnya bagi Maluku Utara harus ada think tank yang mumpuni dan kabapel untuk menyongsong semua ini. Akhirnya, sebagaimana kata George Santayana, filsuf Spanyol; “a country without memory is a country of madmen”. (Sebuah Negeri tanpa Memori adalah Negerinya Orang Gila).
Penulis adalah salah satu tokoh ikut serta dalam perjuangan pembentukan Provinsi Maluku Utara
Tulisan ini juga disampaikan Dalam Diskusi Publik 25 Tahun Provinsi Maluku Utara oleh DPD IKAPATTI Maluku Utara Ternate 10-12 Oktober 2024.