Halmaherapedia—Proses pelelangan geotermal wilayah kerja daerah Telaga Ranu telah diumumkan dengan Nomor: 08.Pm/EK.04/DEP/2025 pada September lalu. Seperti dikutip dari https: //ebtke. esdm. go.id /artikel/ pengumuman/pengumuman-pelelangan-wilayah-kerja-di-daerah-telaga-ranu, Panitia Pelelangan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Daerah Telaga Ranu di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah melaksanakan Pelelangan Wilayah Kerja Panas Bumi dengan prakualifikasi.
Wilayah Kerja Panas Bumi yang dilelang adalah WKP Telaga Ranu di Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara memiliki luas 16.650 hektar dengan cadangan 70 Mega watt electric (MWe). Sementara perkiraan temperature reservoir mencapai 250 sampai 300 derajat celcius. Untuk kapasitas pengembangannya mencapai 40 mega watt electric (MWe).
Proses pelelangan yang sudah dibuka di Jakarta sejak 18 September 2025 oleh panitia Pelelangan WKP Telaga Ranu ini, di tingkat local mendapatkan protes dari berbagai kalangan. Bahkan sudah berulangkali dilakukan masyarakat maupun mahasiswa.
Pada Senin (17/11/2025) pagi hingga siang, Forum Masyarakat Peduli Telaga Rano menggelar aksi demonstrasi di Kantor Bupati Halmahera Barat. Aksi ini sebagai bentuk penolakan terhadap rencana masuknya Proyek Geothermal Panas Bumi Talaga Ranu ini
Aksi kali ini massa yang mendatangi Kantor Bupati Halmahera Barat, mendesak pemerintah daerah segera mengambil langkah membatalkan rencana proyek ini. Karena bagi mereka, kehadiran proyek panas bumi ini sangat mengancam tanah ulayat dan sumber kehidupan masyarakat adat Suku Sahu di kawasan Telaga Rano.
Forum Masyarakat Peduli Telaga Rano, melalui Rheyn dan Ongen, yang berorasi mewakili masyarakat adat Suku Sahu menyampaikan bahwa, masuknya proyek ini ke tanah adat masyarakat Sahu luasnya tidak tanggung-tanggung mencapai16000 hektar. “Luas lahan yang akan diambil untuk proyek ini menurut mereka adalah tanah ulayat masyarakat adat Suku Sahuyang sangat luas,” kata Rheyn dalam orasinya.

Para peserta aksi juga menyatakan menolak proyek geothermal ini karena ikut mengancam tanah leluhur dan tanah ulayat masyarakat adat. Yang tidak kalah pentingnya menurut mereka, kehadiran proyek ini akan merusak lingkungan, sumber air, serta lahan pertanian masyarakat. “Juga dipastikan mengganggu sumber ekonomi warga yang bergantung pada cengkeh, pala, dan kelapa.
“Telaga Rano adalah tanah leluhur kami yang menjaga kehidupan masyarakat melalui sumber air dan kesuburan alamnya. Kami Hidup dengan Cengkeh, Pala, dan Kelapa, bukan dengan perusahaan apalagi Geothermal,”seru Ongen orator aksi. Untuk itu katanya, perusahaan Geothermal ini harus segera angkat kaki dari negeri ini. “Kami berhak mempertahankan tanah ulayat kami,”cecar Ongen.
Menurutnya, perlindungan ini sudah di atur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, tentang pengakuan dan penghormatan negara terhadap hukum adat, Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, tentang identitas budaya dan hak masyarakat tradisional Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, semuanya menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Begitu juga dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa turut mengatur masalah ini.
Sayangnya ,dalam aksi ini massa tidak ditemui Bupati dan WakilBupati Halmahera Barat James Uang dan Djufri Muhammad. Bahkan pejabat Pemkab Halbar lainnya. Tak satupun dari mereka menemui massa aksi. Pegawai Pemkab Halbar beralasan para pejabat sedang berada di luar daerah. Karena tidak ada tanggapan, massa aksi mengancam memboikot pasokan air bersih yang dikonsumsi masyarakat Halmahera Barat yang bersumber langsung dari wilayah Telaga Rano.
“Jika tuntutan kami diabaikan, kami siap boikot seluruh akses air bersih untuk masyarakat Halmahera Barat dan terus melakukan aksi mogok,” ujar Rheyn Mereka juga menegaskan sikap masyarakat adat Suku Sahu, tetap berdiri mempertahankan tanah ulayat Telaga Rano. (aji)














