Elnino Berpengaruh Langsung Harga Beras, Malut Masuk Zona Termahal

Daerah, Headline417 Dilihat

Halmaherapedia-  Wilayah Timur Indonesia termasuk Maluku Utara (Malut) masuk zona tiga  daerah dengan  beras harga termahal. Kenaikan harga beras di wilayah timur bahkan menyentuh Rp 60 per kilogram. Di kota Ternate harga beras melambung hingga Rp18.889 per kilogram.  Salah satu penyebab utamanya adalah karena dampak elnino  

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan harga beras terjadi di 200 kabupaten/kota hingga minggu ketiga Agustus 2025. Harga beras di beberapa wilayah bahkan dilaporkan sudah menyentuh Rp60 ribu per kilogram (kg). Untuk wilaya  zona tiga  yang mencakup Maluku dan Papua mencatat kenaikan harga paling mencolok. Harga beras medium naik 1,09 persen dibanding Juli menjadi Rp18.899 per kg, jauh di atas HET Rp13.500. Beberapa kabupaten, seperti Intan Jaya, Puncak, dan Pegunungan Bintang, mencatat harga beras medium di atas Rp 40 ribu per kg. Untuk beras premium, rata-rata harganya mencapai Rp20.709 per kg, naik 0,64 persen dari bulan sebelumnya. Kabupaten Intan Jaya mencatat harga tertinggi, yakni Rp60 ribu per kg. Berdasarkan data Indeks Perkembangan Harga (IPH) pada minggu ketiga Agustus, tercatat 14 provinsi mengalami kenaikan, 23 provinsi mengalami penurunan, dan satu provinsi relatif stabil. Komoditas utama yang memengaruhi kenaikan IPH adalah cabai merah, bawang merah, serta beras.

Mengenai  naiknya harga beras ini Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kota Ternate  Muhamad Hartono mengakui kenaikan harga beras di zona tiga daerah dengan harga beras termahal di Indonesia juga berpengaruh di Ternate. Saat ini kondisi beras di Kota Ternate juga  mengalami kenaikan yang signifikan atau sekitar 1,09 persen.

Kata dia faktor penyebabnya kenaikan harga beras ini lantaran terdapat masalah gangguan  distribusi.  Sebab  wilayah timur Indonesia, termasuk Malut  khususnya Ternate secara geografis memiliki tantangan distribusi yang lebih besar dibandingkan wilayah barat. Biaya logistik yang tinggi untuk pengiriman dari sentra produksi beras di Jawa atau Sulawesi ke Ternate menjadi salah satu penyebab utama. Keterbatasan infrastruktur, seperti pelabuhan dan jalan, juga dapat memperlambat proses distribusi, yang pada akhirnya menaikkan harga. “Selain itu stok beras Bulog yakni beras kita sampai saat ini belum masuk ke gudang Bulog,” jelasnya kepada Halmaherapedia, Rabu (27/8/2025) lalu.

Selain gangguan distribusi sambungnya faktor lainnya yang berdampak pada kenaikan harga beras berkaitan dengan fenomena El Nino  yang menyebabkan kemarau panjang. Sehingga dampaknya sangat terasa pada sektor pertanian, terutama untuk tanaman padi yang membutuhkan banyak air.

“Kekeringan akibat El Nino menyebabkan penurunan produksi panen, jadi pasokan beras di pasar berkurang. Ketika permintaan tetap tinggi sementara pasokan menurun, harga beras otomatis akan naik,” tabahnya.

Mengenai kenaikan harga beras ini lanjutnya pemerintah Kota Ternate memiliki beberapa opsi untuk mengatasi masalah kenaikan harga beras  seperti operasi pasar. Di mana operasi ini bertujuan untuk menambah pasokan beras di pasar dengan harga yang lebih terjangkau, biasanya di bawah Harga Eceran Tertinggi (HET).

“Dengan menambah pasokan, kami berharap harga di pasaran dapat stabil dan kembali normal,” katanya. Ia mengaku Pemkot juga akan mengambil langkah koordinasi dengan Bulog  untuk memastikan ketersediaan stok beras. Seab Bulog berperan penting sebagai penyangga stok beras nasional. “Melalui koordinasi ini, pemerintah daerah dapat meminta alokasi beras dari Bulog untuk operasi pasar atau bantuan sosial,” akunya.

Akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Nurdin I Muhammad menyatakan, lonjakan harga beras hingga Rp 60 ribu/kg di beberapa daerah, khususnya zona tiga Maluku dan Papua, menunjukkan bahwa masalah pangan di Indonesia bukan hanya soal produksi, tapi juga distribusi. Jika  di Jawa harga beras bisa relatif stabil, di kawasan timur harga bisa melonjak tajam.

“Artinya ada biaya logistik, keterbatasan akses transportasi, dan rantai pasok yang panjang yang membuat harga jauh dari HET,” tandasnya kepada Halmaherapedia, Rabu (27/8).

Kata dia, kenaikan harga beras ini lantaran produksi nasional turun akibat El Nino berkepanjangan tahun lalu yang mempengaruhi masa tanam dan panen. Wahasil dampaknya masih terasa hingga saat ini.

Dosen Ekonomi ini  juga menyebut  faktor pemicu harga beras mahal  Timur juga disebabkan  biaya distribusi dan logistik mahal. Di mana daerah-daerah pegunungan di Papua dan Maluku hanya bisa diakses lewat udara, sehingga ongkos angkut melonjak.

“Selain itu Inefisiensi tata niaga beras. Rantai distribusi panjang dari Bulog ke  distributor,  pedagang,  pengecer, membuat harga semakin tinggi. Bahkan Saat pasokan berkurang, pedagang sering menahan stok untuk menjual dengan harga lebih tinggi,” tuturnya.

Ekonom Malut ini meminta  kenaikan harga beras dengan  harga tinggi di wilayah Timur Indonesia perlu ada kebijakan serius Pemerintah.  Di mana pemerintah perlu memperkuat operasi pasar melalui Bulog dengan memastikan stok cadangan beras cukup dan distribusi diarahkan ke daerah rawan harga tinggi, terutama di Papua dan Maluku.

“Untuk itu perlu ada subsidi ongkos angkut ke wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) agar harga lebih mendekati HET,” pintanya.   Lebih lanjut kata dia, Pemerintah juga perlu membatasi praktik spekulasi melalui pengawasan ketat Satgas Pangan. Dengan perbaikan distribusi dan produksi lokal.

Penguatan infrastruktur logistik seperti pelabuhan kecil, gudang, dan transportasi antar-pulau agar biaya distribusi menurun. Disamping itu pemerintah harus mendorong diversifikasi pangan lokal seperti  sagu, ubi, dan jagung di Maluku–Papua  untuk dikembangkan sebagai substitusi beras.

“Kenaikan harga beras ini sangat berdampak serius bagi masyarakat. Karena itu Pemerintah harus mendorong kerjasama antar-daerah dalam distribusi beras, misalnya jalur khusus Sulawesi–Papua dengan harga angkut yang lebih murah,” tukasya.

Ia menambahkan, kenaikan harga beras ini bukan sekadar persoalan musim panen atau inflasi biasa, tetapi lebih pada ketimpangan struktural distribusi pangan nasional. Kalau pemerintah serius, maka yang perlu dilakukan bukan hanya operasi pasar sesaat, melainkan membenahi logistik, memperkuat produksi lokal, dan membangun kemandirian pangan berbasis wilayah.(aji/adil)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *