Suara Nelayan Kecil Maluku Utara: Bertarung di Laut, Tersandung di Darat

Daerah, Headline280 Dilihat

Halmaherapedia— Nelayan kecil tak hanya  bertarung di bawah terik matahari, arus  dan  gelombang. Sebelum melaut mereka juga harus bertarung  dengan sistem distribusi bahan bakar yang sulit. Tak itu saja, turut dihadapkan  dengan prosedur ekspor ikan yang kian pelik.

Keluhan itu sempat menggema dalam pertemuan Komite Pengelola Bersama Perikanan Tuna (KPBP) ke-XIII di Balai Pertemuan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ternate, 29 April 2025  belum lama  ini. Dalam forum itu, keluhan mereka mengerucut pada dua masalah utama: BBM yang sulit diakses dan persyaratan sertifikat ekspor hasil tangkapan yang belum ramah bagi nelayan skala kecil.

 

BBM: Kuota Tak Tersalur, Prosedur Berliku

Bagi nelayan, bahan bakar adalah urat nadi. Tanpa solar atau pertalite, berarti mereka tak bisa melaut. Dari kuota BBM bersubsidi untuk perikanan sebesar 2,2 juta kiloliter dalam tiga tahun terakhir, hanya sepertiga yang benar-benar diterima oleh nelayan.

“Sudah membawa rekomendasi dari dinas, tapi masih diminta membeli Pertamax sebanyak 50% dari yang saya butuhkan,” keluh La Yamin, nelayan asal Sanana. Padahal harga Pertamax jauh lebih mahal, dan kebutuhan utama mereka hanyalah Pertalite.

Hal serupa dialami Gafur Kaboli, pengelola Koperasi BBM Bubula Ma Cahaya di Jambula. Ia mengaku mendapat kuota 13 ton per bulan, namun pengiriman kerap hanya datang satu-dua kali. “Padahal kebutuhan kami empat kali lipat dari itu,” ujarnya.

Nelayan Sula yang baru pulang dari melaut

Di Kampung Maksar Timur, Ternate, Abdullah Usman mengeluhkan hal serupa. Sementara di Halmahera Selatan, Lasipu, nelayan dari Jikotamo, bahkan menyebut desanya nyaris tak pernah mendapat distribusi BBM bersubsidi atau penyaluran BBM khusus nelayan. Sosialisasi pun nyaris tak pernah dilakukan.

Birokrasi Panjang dan Minim Solusi

Masalah tak berhenti di distribusi. Penambahan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN) terkendala prosedur Pertamina yang dinilai terlalu rumit. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara mengusulkan agar jalur distribusi alternatif seperti Agen Premium dan Minyak Solar (APMS) diberi kemudahan izin. “Tanpa terobosan, nelayan akan terus tercekik,” katanya.

Koordinator BPH Migas, Anwar Rofiq, mengakui perlunya kerja sama lintas institusi—mulai dari pemerintah daerah, Pertamina, hingga para nelayan. Tapi belum ada kepastian soal tindak lanjut konkretnya.

Seorang nelayan asal Desa Jikotamo Obi Halmahera Selatan memperlihatkan hasil tangkapannya

 

Sertifikasi: Nelayan Kecil Kian Terkucil

Tak hanya soal BBM, nelayan juga dibuat pusing karena terancam hasil tangkapannya tidak dapat dibeli oleh perusahaan. Pasalnya, untuk syarat utama agar produk perikanan bisa menembus pasar ekspor adalah industri harus mengantongi Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI). Sedangkan SHTI Lembar Turunan yang Disederhanakan (SHTI-LTS), adalah versi sederhana yang dirancang untuk memudahkan nelayan skala kecil. Namun kenyataannya ketiadaan petugas pada sentral nelayan di non pelabuhan menyulitkan penerapan sistem ini.

Wilson dari PT Harta Samudra menyebutkan bahwa penerbitan SHTI berjalan lancar di Morotai. Namun nelayan skala kecil di wilayah non-pelabuhan, yang berada di pulau-pulau kecil, tetap mengalami kesulitan; karena infrastruktur tak memadai, jaringan internet lemah, dan pemahaman soal prosedur yang minim.

Kamarudin, Kepala PPN Ternate, menegaskan pentingnya SHTI sebagai dokumen penentu legalitas dan ketertelusuran tangkapan. “Tanpa itu, ikan-ikan kita bisa dianggap ilegal di mata dunia,” katanya.

Rekomendasi Menggantung

Beberapa rekomendasi dari pertemuan ini yaitu: sosialisasi dan pendampingan prosedur rekomendasi BBM, sistem pelaporan penyalahgunaan, hingga evaluasi tahunan distribusi BBM bersubsidi.

Di sisi sertifikasi, dibahas perlunya penguatan data logbook, legalitas kapal, dan panduan teknis yang lebih mudah bagi nelayan skala kecil. Uji coba implementasi SHTI untuk nelayan non-pelabuhan juga dianggap penting.

Harapan nelayan adalah agar rekomendasi tidak berakhir di meja pertemuan saja. Nelayan skala kecil ingin tetap melaut dan menangkap ikan, meskipun asa yang semakin menipis di tengah biaya tinggi dan ketidakpastian hasil tangkapan ikan.

Suara yang Harus Didengar

Suara nelayan skala kecil dari Maluku Utara telah menggema. Tapi gema tak cukup untuk menggerakkan kapal, apalagi memperbaiki sistem yang berlaku. Diperlukan kemauan politik dan keberpihakan nyata agar laut yang mereka cintai tetap lestari.(*)

Penulis: Putra Satria Timur dan Marwan Adam, Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia(MDPI)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *