Sebuah Catatan dari Kampung Tomadou Tidore
Di Kota Tidore Kepulauan, tepatnya di Kampung Tomadou Kelurahan Tosa Kecamatan Tidore Timur memiliki salah satu sumber mata air yang dikenal dengan Mata Air Ake Sali.
Sekitar wilayah mata air ini dahulunya adalah sebuah perkampungan tua yang dikenal dengan nama Kampung Buku Mira. Warga Buku Mira ini adalah cikal bakal warga kampong Tomadou. Mereka turun ke bawah kurang lebih 5 kilometer dan membuat kampong Tomadou sekarang.
Perkampungan Buku Mira memang kini tinggal kenangan. Sudah hamper 80 tahun ditinggalkan dan telah kembali menjadi hutan berupa area perkebunan masyarakat setempat. Meski telah ditinggalkan turun temurun, tetapi tetap dijaga sebagai kawasan penyangga sumber air bagi kehidupan mereka.
Kampung tua dan sumber air Ake Sali berada di kawasan pegunungan dengan jarak sekitar lima kilometer dari permukiman warga. Mata air ini tetap dirawat dan dijaga. Dari sumber mata air ini warga membuat pipanisasi air yang menyusuri medan berat. Melewati tebing dan lereng curam, perbukitan, hutan rimba, hingga kebun pala dan cengkeh milik warga.
Ternyata nilai dan warisan airnya hidup dan tetap dijaga. Model menjaganya tercermin dari kegiatan gotong royong lintas generasi keturunan Buku Mira merawat jalur pipa air dari mata air Ake Sali menuju Kampung Tomadou Kelurahan Tosa,Tidore Timur.
Kegiatan gotong royong ini dilakukan secara rutin sebulan sekali atas inisiatif bersama warga keturunan Buku Mira. Tujuannya memastikan pipa air tidak tersumbat oleh material dari alam serta menjaga aliran air pegunungan tetap lancar.

Air dari Ake Sali tidak hanya dimanfaatkan warga Kampung Tomadou, tetapi juga digunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir. Tetua masyarakat Buku Mira Jojo Biji, menuturkan kurang lebih 80 tahun lalu, saat Buku Mira masih dihuni, Ake Sali merupakan sumber utama kehidupan warga. Pada masa itu, air dialirkan menggunakan belahan bambu yang disambung-sambung sepanjang kurang lebih 2,5 kilometer.
“Dari dulu kami hidup dari Ake Sali. Air dialirkan dengan belahan bambu, sederhana tapi penuh makna. Itu sumber kehidupan kami,” cerita Jojo Biji.
Seiring perpindahan permukiman ke Kampung Tomadou dan perkembangan zaman, saluran bambu diganti pipa paralon. Pergantian tersebut dilakukan agar warisan leluhur tidak hilang dan manfaatnya dapat dirasakan lebih luas oleh masyarakat. Soal kegiatan gotong royong menurut Dahlan Mahmud, salah satu keturunan Kampung Buku Mira bahwa yang dilakukan ini adalah simbol keterhubungan lintas generasi antara sejarah, pengabdian, dan tanggung jawab sosial.
“Setiap warisan itu bermakna. Dia adalah sejarah dan seni yang tak terlupakan. Indahnya warisan kita adalah ketika orang lain bahagia menikmati setiap tetesan air yang kita usahakan bersama,” tutur Dahlan Mahmud.
Keberadaan air ini sebenarnya sangat bermakna bagi warga di perkampungan di daerah puncak Tidore. “Kalau nanti kamu minum air Ake Sali, ingatlah saya, kakek Ba Himen,” celoteh Ba Himen salah satu tetua kampong saat kegiatan gotong royong pembersihan sumber air ini.
Bagi warga kampong setempat dalam konservasi dan sosial budaya, kegiatan ini menunjukkan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Bekas perkampungan Buku Mira kini menjadi hutan rimba yang tidak dieksploitasi. Wilayah perkampungan ini tetap dirawat sebagai sumber kehidupan bersama. Gotong royong lintas generasi ini sekaligus menegaskan bahwa masyarakat dari wilayah yang kerap dianggap terpencil mampu memberi kontribusi nyata bagi banyak orang. Dari hutan bekas kampung Buku Mira, Ake Sali terus mengalirkan air, sejarah, dan nilai kebersamaan yang menghidupi desa hari ini dan masa depan.(*)
Penulis: Burhanuddin Jamal
Warga Kelurahan Tosa Tidore Kepulauan










