Tradisi Dola Maludu: Ruang Perjumpaan antara Keimanan, Seni, dan Kearifan Lokal

Kekayaan Tradisi dari Seli Kota Tidore Kepulauan.

Halmaherapedia–Kota Tidore Kepulauan memiliki adat dan tradisi   yang cukup banyak. Beberapa yang sudah terkenal yaitu  Dama Nyili-Nyili Ke(pawai obor untuk menjaga persatuan wilayah).  Paca Goya  atau  membersihkan tempat keramat setelah panen, serta upacara-upacara keagamaan yang dipadukan dengan unsur lokal seperti Fiyau Kubur (ziarah kubur) dan Badabus (ritual kebatinan yang kini menjadi seni pertunjukan), yang semuanya mencerminkan harmonisasi antara Islam dan budaya leluhur. Ternyata  ragam  tradisi   Tidore tidak saja  Ternyata ada  satu upacara adat   dari Kelurahan Seli Tidore yang terbilang sacral dan perlu dilestarikan  mulai diperkenalkan. Upacara  adat  itu namanya Dola Maludu. Upacara ini  sangat  sakral  dan  menjadi identitas  masyarakat di Kelurahan Seli, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.

Dari  penjelasan  berbagai sumber,  upacara sacral ini sebenarnya  berakar dari peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabbiul Awal sesuai  kalender Hijriah. Dia bukan sekadar ritual religius, ia adalah manifestasi kesetiaan pada leluhur, persaudaraan, dan kedamaian.

Tradisi ini dimulai dengan  Gahi Yena, ritual mengundang restu leluhur dan menentukan seluruh rangkaian pelaksanaan upacara. Setelah itu, masyarakat mulai menggalang Polu Dati.  Polu dati adalah pengumpulan dana dan bahan makanan secara gotong royong  sebagai simbol kebersamaan dan tanggung jawab kolektif dalam melaksanalana ritual tersebut.

Beberapa hari  jelang puncak perayaan, anak cucu dari kampong Seli berkumpul untuk melakukan Paca Eno. Kegiatan ini adalah  membersihkan goya tempat sakral di tengah hutan. Setelah pembersihan pada  malam yang ditetapkan, mereka menggelar Nyata Ngale, pengecekan kesiapan upacara sembari mengenakan pakaian adat dan berkumpul di rumah adat (fola sou).

Seluruh persiapan ini berpuncak pada ritual Sobaka Uku. Momen ini paling sakral ketika ketua adat dan pemuka adat memanjatkan doa khusus di goya/ tempat sakral berupa jere para leluhur. Dalam doa mereka memohon keberkahan bagi seluruh keturunan dan wilayah/ negeri yang mereka tempati.

Usai prosesi di tengah hutan di mana Goya berada, seluruh peserta kembali ke fola sou  atau rumah obat/adat, untuk mendengarkan pesan kehidupan yang disebut borero gosimo. Borero Gosimo adalah pengingat tentang kebaikan, keadilan, dan ketulusan hati yang sesuai syariat Islam.

Kegiatan tumbuk tepung beras untuk bahan kegiatan ritual Dola Maludu, foto DKJ Menkum.

Setelah mendengar Borero Gosimo acara ritual dilanjutkan dengan Doa Selamat. Dalam acara pembacaan doa selamat ini  para imam dan pemuka agama memimpin doa permohonan keselamatan  dan rezeki yang halal bagi seluruh warga.

Usai kegiatan ini dua hingga atau tiga hari kemudian, dilakukan Kali Piga Madoya dan Hele Piga. Kali piga madoya adalah  mengganti makanan ritual dan menikmati santapan  bersama sebagai simbol berbagi dan syukur. Prosesi  panjang Dola Maludu ini kemudian ditutup kembali dengan  Gahi Yena. Acara ini adalah  sebagai ucapan terima kasih kepada penguasa alam semesta dan leluhur bahwa seluruh ritual berjalan baik.

Melalui seluruh proses tersebut, fungsi sosial dan moral budaya ini sangat kuat: memperkuat hubungan kekerabatan (ngofa se dano), menjaga silaturahmi antar generasi, serta meneguhkan keyakinan bahwa hidup harus dijalani d engan keikhlasan, hormat, dan kebenaran.

Selain ritual sakral, unsur seni-budaya turut menghidupkan suasana perayaan. Pada momentum tertentu masyarakat menampilkan seni pertunjukan khas Tidore seperti tarian adat, musik tifa dan totobuang, serta paduan lantunan doa dan syair keagamaan, menegaskan bahwa Dola Maludu adalah ruang perjumpaan antara keimanan, seni, dan kearifan lokal.

Sebagai sebuah kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat Seli Kota Tidore,  upacara adat ini   telah resmi terlindungi sebagai sebuah Kekayaan Intelektual Komunal (KIK).  KIK ini  telah dicatatkan  di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum.

Rilis Kementerian  Hukum yang dikeluarkan pada 12 November 2025 lalu  menyebutkan,  Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Hukum Razilu menegaskan bahwa pelindungan KI bukan hanya menempatkan tradisi pada kedudukan hukum yang kuat, melainkan  memastikan keberlanjutannya.

“Pelindungan KIK  seperti Dola Maludu adalah upaya mempertahankan identitas dan kehormatan masyarakat adat.  Dengan tercatat sebagai KIK, telah diakui bahwa budaya ini  adalah milik bangsa dan harus dijaga nilai-nilai budaya, sosial serta kemanfaatannya untuk generasi mendatang,” kata Razilu  .

Dia bilang lagi  pencatatan Dola Maludu sebagai KIK memperkuat posisi masyarakat adat dalam menjaga tradisinya. Status hukum ini menjadi upaya nyata menghadapi tantangan modernisasi dan penurunan minat generasi muda terhadap budaya leluhur. Perlindungan KI ini juga membuka manfaat ekonomi bagi komunitas pemilik tradisi.

“Ketika budaya terlindungi secara hukum, komunitas adat dapat menjadi pihak utama yang menikmati manfaat ekonominya. Pelestarian budaya harus mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Kesuksesan pencatatan ini menjadi pengingat bahwa Indonesia masih memiliki ribuan budaya yang menanti pelindungan. Karena itu, DJKI mengajak seluruh pemangku adat dan pemerintah daerah  memastikan warisan leluhur mereka tidak lenyap oleh waktu.

“Kami  dorong daerah dan komunitas  segera mencatatkan budaya mereka ke DJKI. Inilah langkah awal mempertahankan warisan leluhur agar tetap hidup, dihargai, dan bermanfaat bagi anak cucu  ke depan,” pungkas Razilu.

Tercatatnya Dola Maludu sebagai KIK, masyarakat Seli kini berdiri lebih tegak bahwa identitas dan martabat budaya mereka telah diakui dan dijaga  negara. Ini bukan hanya pelestarian  tradisi, melainkan investasi besar untuk keberlanjutan peradaban Nusantara.(aji/rilis)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *