Halmaherapedia- Teluk Buli Kecamatan Maba Halmahera Timur (Haltim) diduga tercemar limbah kerukan tambang. Sejak 25 September 2025, warga Maba mendokumentasikan aliran air Kali Kukuba yang keruh pekat dan langsung mengalir ke laut. aliran air, membawa lumpur coklat yang menutupi garis pantai. Kejadian ini bukan kali pertama, namun sebelumnya pada 8 Agustus lalu, peristiwa serupa terjadi.
Pegiat Salawaku Institute M. Said Marsaoly menyatakan, pencemaran ini teluk Maba diduga akibat aktivitas PT Feni Haltim, perusahaan tambang nikel yang beroperasi di kawasan tersebut. Kata dia, meski perusahaan mengklaim sudah mengatasi masalah pencemaran, namun faktanya teluk Maba masih tercemar.
“Klaim PT Feni bahwa pencemaran telah diatasi terbantahkan oleh kenyataan. Kerusakan terus berulang, dan warga menjadi saksi hidup dari kehancuran yang tak kunjung berhenti,” ungkapnya kepada Halmaherapedia, Minggu (28/9/2025).
Warga Maba ini menyebut masalah pencemaran yang menjadi teluk Maba Haltim ini, semakin kompleks ketika pembangunan pabrik baterai resmi dimulai di Tanjung Buli pada 29 Juni 2025. Di mana proyek tersebut merupakan bagian dari program hilirisasi industri nikel yang didorong oleh pemerintah pusat dalam kerangka transisi energi global. Namun di balik jargon energi bersih, warga setempat melihat wajah lain dari proyek ini: perusakan lingkungan yang semakin parah.
“Dunia membayangkan energi bersih dari baterai kendaraan listrik, tapi bagi kami, itu berarti sungai dan laut yang mati, pesisir yang tenggelam dalam lumpur, dan kehidupan yang kian sulit,” tuturnya.
Kata dia, Teluk Buli bukan wilayah yang asing terhadap eksploitasi. Sejak lama, kawasan ini menjadi korban dari aktivitas pertambangan yang masif, mulai dari eksploitasi pulau-pulau kecil oleh PT ANTAM, hingga kerusakan berat yang melanda pesisir Moronopo. Yang berbeda kali ini adalah skala dan dampaknya, karena kawasan yang seharusnya menjadi target pemulihan justru menjadi lokasi pembangunan industri besar-besaran.
Ia menilai bahwa kebijakan pembangunan industri di Teluk Buli telah mengabaikan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan. Sebab menutnya proses-proses penting seperti penyusunan dokumen Amdal, RKL-RPL, serta pemantauan lingkungan tidak dilakukan secara terbuka dan partisipatif.
“Kami tidak pernah dilibatkan. Dokumen-dokumen penting disembunyikan, sementara dampaknya kami rasakan setiap hari. Sungai menjadi beracun, laut tak lagi ramah, dan anak-anak kami berenang di air yang tidak kami yakini lagi kebersihannya,” ujarnya.
Ia menegaskan proyek-proyek strategis nasional tidak boleh berdiri di atas penderitaan masyarakat lokal. Karena itu pihaknya mendesak penghentian pembangunan pabrik baterai di Tanjung Buli, meminta keterbukaan dokumen lingkungan seperti ANDAL, RKL-RPL, dan seluruh laporan pemantauan lingkungan hidup, dengan melibatkan masyarakat, dan mendesak pemulihan menyeluruh ekosistem pesisir dan sungai yang telah rusak akibat kegiatan industri. “Kami minta penegakan hukum terhadap perusahaan yang terbukti melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan. Negara harus tegas soal ini,” pungkasnya.(aji/adil)