Penulis:Mahmud Ichi
Kami Tidak Takut
Hari Ini Kami tetap ada
dan berlipat ganda, di jalanan di kampus kampus dan di gang gang sempit,
di pikiran pikiran yang mulai gelisah
Kami tidak takut.
Karena kami tahu:
mereka yang mengancam hanyalah bayang bayang kekuasaan
yang takut kehilangan kuasa.
Kami tidak gentar.
Karena di balik satu yang tumbang akan lahir 10 yang menggantikan.
Di balik satu suara yang dibungkam, akan ada ribuan teriakan.
Kami tetap ada dan berlipat ganda.
Okky Madasary, Bundaran UGM 1 September 2025
Kutipan puisi penulis Okky Madasari di atas, menurut saya adalah gambaran kukuhnya perjuangan dan arti sebuah demokrasi yang hari -hari ini tetap disuarakan. Bahwa perjuangan ini akan terus berlangsung hingga cita-cita luhur demokrasi mampu dimenangkan.
Memulai tulisan ini, saya ingin menyampaikan rasa duka mendalam atas jatuhnya korban ketika perjuangan demokrasi mahasiswa dan massa rakyat yang bangkit melawan kuasa bebal dan pongah saat ini. Aksi protes yang menyebabkan korban nyawa dan harta itu sebenarnya tak diinginkan. Tapi apalah daya, demokrasi yang dibajak itu meminta tumbal. Dari mereka yang meninggal, korban luka hingga hancurnya berbagai fasilitas umum.
Ada pameo menyebut jika tak ada tumbal, suara rakyat hanya dianggap seperti desir angin laut yang menutupkan mata dan telinga untuk mereka di atas singgasana kuasa. Jangankan didengar , dipedulikan juga tidak. Hari-hari ini kita menyaksikan begitu berat meluruskan jalan sejarah perjuangan demokrasi. Padahal sedari awal Demokrasi kata seribu makna itu memberi kuasa dan daulat rakyat untuk cita-cita luhur negara bangsa, RAKYAT ADIL dan SEJAHTERA.
Gelombang aksi besar dari Jakarta yang dimulai sejak 25 Agustus 2025 hingg memasuki awal September 2025 ini, meluas ke berbagai daerah dengan semakin naik level eskalasi. Hal membuat semua kita rakyat Indonesia termasuk saya bertanya tanya. Benarkah sistem kenegeraan ini, inikah hasil dari demokrasi yang kita gunakan bertahun-tahun, bela dan perjuangkan. Atau hasil yang dipanen saat ini, karena bentuk Demo – Hasi yang ditanam dan dikembang biakkan selama ini? Lalu produk akhirnya Demo-Crazy yang kita saksikan ? Pertanyaan-pertanyaan itu menggelayut dalam pikiran menyaksikan betapa cita-cita demokrasi hanya untuk mereka tetapi bukan untuk kita dan kami.
Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya perlu memberi penjelasan, penggunaan dua diksi di atas jarang terdengar bahkan mungkin dalam praktik berbahasa kita. Saya coba mengombinasikan dua diksi dalam bahasa Ternate dan bahasa Inggris ini. Setidaknya begini artinya. Demo-hasi =Bicara Bohong = Pertunjukan Kebohongan. Hasilnya == Demo Crazy Pertunjukan Kegilaan. Makna yang coba diangkat ini sudah terjadi dalam bentuk pertunjukan kegilaan rakyaat atas demohasi yang dimakan dan beban hidup yang dialami rakyat. Saya memohon maaf jika kehilangan makna secara leksikal dan gramatikal dalam dua diksi ini.
Tetapi setidaknya dalam konteks peristiwa saat ini, saya ingin memperkenalkan dua kata ini sebagai simbol protes atas kebohongan dan kegilaan yang ditunjukkan mereka yang diberi kepercayaan mengelola dan pengatur negara ini.
Selama bertahun- tahun kita menyaksikan kebohongan yang dipraktekkan. Ada kelompok hidup bermewah-mewah, sementara rakyat kecil, kaum tani, nelayan, perempuan dan kaum disabilitas yang berada di luar lingkaran mereka, hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan. Mereka harus pontang panting mengisi hari hari. Padahal rakyat kecil hanya butuh makan dan minum serta pendidikan yang layak.
Tapi yang didapat adalah penghisapan yang tiada tara. Coba lihatlah, semua elemen negara yang dulunya menjadi harapan rakyat kini dibajak dan dikerangkeng kelompok politik dan pendukung mereka. Tak hanya lembaga pemerintah, badan usaha negara juga ikut dijarah secara tidak langsung. Meritokrasi hanyalah sebuah gramatikal. Degung tanpa makna.
Lihatlah semua tim sukses dan pendukung menguasai badan badan usaha negara. Bagi kuasa terjadi di mana mana dan sudah pasti di sana pembagian japre dan pundi -pundi yang berputar dalam kelompoknya. Coba tengok mereka yang katanya sebagai wakil rakyat, minta ampun, mereka berkenduri di atas auman rakyat kecil yang meminta sesuap nasi.
Kita tidak hanya menyaksikan parade, tuntutan praktik demokrasi yang hakiki tetapi juga melihat aksi yang banal disajikan.
Di Jakarta, ada aksi diikuti penjarahan rumah sejumlah tokoh publik, termasuk merusak berbagai fasilitas umum. Di kota kota lain ada aksi bakar gedung pemerintah dan fasilitas umum.
Cara-cara destruktif ini sebenarnya, bukan yang diinginkan, terutama kalangan kampus. Namun ketika proses yang berjalan dengan tuntutan yang dibelokkan, maka hasilnya seperti kita saksikan saat ini. Aparat ikut menangkapi orang yang dianggap merusak, sementara korban meninggal berjatuhan. Terhitung sudah terdata 9 orang meninggal baik mahasiswa PNS maupun penarik ojek online.
Penjarahan yang dilakukan itu memang dibenci banyak orang, tetapi perlu membaca juga dan menyadari bahwa model penjarahan dengan kebijakan yang menggunakan aturan perundang-undangan, lebih massive dan nyaris tidak terasa. Penarikan pajak yang merusak nalar, hingga berbagai keputusan yang membuat kita hanya bisa geleng geleng kepala. Dari rekening diblokir, tanah nganggur diambil negara, hingga selaksa peristiwa yang bikin merinding.
Di wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan, lihatlah bagaimana sumber daya alam dikeruk dirusak dan diambil mereka yang mengatasnamakan negara secara tidak terkendali. Atasnama negara pulalah mereka menghilangkan ruang -ruang hidup masyarakat adat di kampung kampung, hol-hol dan tanjung tanjung.
Saat- saat ini mesin penghancur hutan dan lahan masih beroperasi. Di saat yang sama warga yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya harus menghadapi berbagai tuntutan hukum dari pemilik modal yang membajak negara dan aparatnya.
Apakah ini praktik demokrasi yang diinginkan foundang father negara?. Seandainya hari ini, Baabullah, Nuku, Cokroaminoto, Hi Agus Salim, Tan Malaka, Soekarno, Hatta dan masih banyak lagi pahlawan, bangun dari tidur panjang mereka dan menyaksikan kondisi anak cucu bangsa yang menangis, mereka pasti akan bangkit berdiri dan melawan. Melawan model penjajahan baru yang dipraktikkan para pembajak- pembajak demokrasi dari anak kandung pertiwi.
Praktik bicara dan pertunjukan kebohongan saat ini, sudah kenyang dimakan dan diminum rakyat. Dari setiap kontestasi politik hingga memproduksi mereka yang duduk di lembaga yang katanya wakil rakyat dan eksekutif, kebohongan itu dibuat berlapis -lapis dan bertahun tahun. Mereka tak menyadari kalau lapisan dan tumpukan kebohongan itu menjadi darah dan nanah yang menginggapi rakyat. Dan akhirnya mencapai puncak, tibalah waktu menjadi bisul dan pecah.
Bisul demokrasi yang pecah itu sebenarnya adalah sebuah kerja metabolisme dari kerusakan bagian tubuh. Nanah dan darah itu mencari jalan untuk ke luar. Tujuannya jelas, membebaskan tubuh demokrasi dari penderitaan dan kesakitan. Laksana seseorang yang menderita bisul di tubuhnya, ketika pecah nanah dan darahnya keluar, sakitnya berangsur hilang dan luka-luka diharapkan segera pulih.
Harapan pulihnya luka tak sekadar harapan kosong. Mereka yang ada di atas sana, mesti membuka daun telinga mereka lebar-lebar untuk mendengar sekaligus mesti menjernihkan hati dan isi kepala. Mereka tidak boleh ego mementingkan diri dan kelompoknya. Suara rakyat yang katanya pemilik sah demokrasi harus didedahkan lewat perubahan nyata yang diminta. Sepanjang hal itu tidak dilakukan, suara rakyat ini tetap lenyap tak berbekas.
Mengutip Tan Malaka, seorang tokoh revolusioner dan pemikir politik Indonesia, melihat demokrasi tak sekadar sistem pemerintahan dengan suara mayoritas, tetapi lebih dari itu harus menjadi alat perjuangan bagi kesejahteraan rakyat.
Demokrasi sejati adalah ketika kekuasaan berada di tangan rakyat dan digunakan untuk mencapai keadilan sosial dan ekonomi. Demokrasi tidak boleh hanya jadi alat bagi elite politik mempertahankan kekuasaan tetapi harus digunakan membebaskan rakyat dari penindasan dan ketidakadilan.
Dalam konteks hari ini Tan Malaka mengingatkan bahwa demokrasi harus selalu berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan tidak boleh terjebak dalam formalitas belaka. Karena itu harus terus diperjuangkan dan dikawal agar tetap menjadi alat pembebasan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Akhirnya, yang disampaikan Tan dalam berbagai tulisannya tentang demokrasi itu adalah, fakta idealitas. Tetapi hari-hari ini realitas menjauhkan dari arti demokrasi. Apakah das sein akan selalu das sollen. Entahlah. Semoga negeriku segera pulih.
Penulis adalah: Pegiat Hol-hol deng Tanjung -tanjung
Di Bawah Benteng Toloko, 2 September 20205