Kisah Fitriani Ashar, Anak Nelayan Menembus Bangku Magister

Daerah, Headline, Morotai276 Dilihat

Halmaherapedia—Namanya Fitriyani Ashar. Dia saat ini menempuh studi S2 pada program Magister Ilmu Kelautan, Universitas Khairun Ternate. Sebelumnya, dia menempuh pendidikan sarjana di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, dan kini melanjutkan studi di Universitas Khairun Ternate. Fitrani adalah anak seorang nelayan sederhana bernama bapak Sair Pina. Sejak kecil, dia tumbuh di lingkungan pesisir di mana tangkapan ikan menjadi satu-satunya sumber harapan keluarga untuk meres bertahan hidup. Dari penghasilan yang sangat terbatas itu, bapaknya berhasil menyekolahkan empat anak hingga sarjana, dan dirinya hingga ke jenjang magister.

Di tengah keterbatasan ekonomi , tak sedikit anak bangsa membuktikan bahwa pendidikan bukanlah hak eksklusif kaum berada. Salah satunya seperti dirinya yan seorang anak nelayan dari Desa Sangowo Pulau Morotai yang saat ini bisa berhasil menembus jenjang magister. Kisah ini bukan sekadar pencapaian pribadi, melainkan cerminan bahwa ketimpangan akses pendidikan dapat dilampaui oleh kegigihan, dukungan sosial, dan kebijakan pendidikan yang berpihak.
“Saya tidak berasal dari keluarga kaya, tidak pula punya jalur istimewa menuju pendidikan tinggi. Tapi saya percaya bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan generasi. Bahkan saya sering menghadapi stigma “Anak nelayan bisa apa?” Seolah-olah latar belakang saya jadi penghalang legitimasi akademik saya,”katanya.

Pasalnya dengan pengorbanan luar biasa. Tidak ada gaji bulanan, tidak ada jaminan sosial, hanya ada harapan dari laut yang semakin hari semakin tak menentu. Seringkali, bapaknya pulang meluat tanpa hasil. Tapi tak pernah menyerah dan tidak pernah sekalipun berkata bahwa pendidikan itu terlalu mahal untuk keluarganya.

Baginya, keberhasilan ini tidak seharusnya dipuja-puja sebagai kisah “inspiratif” belaka. Justru inilah potret kegagalan sistemik kita. Mengapa akses pendidikan tinggi masih begitu sulit bagi masyarakat kecil. Mengapa anak-anak dari daerah pesisir dan pulau terpencil harus berjuang mati-matian untuk sekadar mendapatkan hak pendidikan yang setara.

Pendidikan katanya tidak boleh lagi menjadi hak istimewa yang hanya bisa diraih oleh mereka yang mampu secara ekonomi dan tinggal di kota besar. ‘Saya berharap, suatu hari nanti, pendidikan benar-benar hadir sebagai alat pembebasan. Bukan hanya untuk saya, tapi untuk setiap anak pesisir, anak petani, anak buruh, yang hari ini masih terus ditinggalkan,”katanya.

Dia bilang dalam hal ini apresiasi yang paling tulus disampaikankepada ayahnya Sair Pina.Karena sebagai seorang nelayan dari Desa Sangowo Kabupaten Pulau Morotai tanpa banyak kata, dengan tangan yang kasar memegang tali perahu, dengan tubuh yang lelah setelah pulang dari laut, telah menjadi pahlawansejati dalam hidup mereka. Dari hasil laut yang takmenentu, dia menyekolahkan empat anaknya hingga sarjana, termasuk Dirinya hingga magister. “Itu bukan sekadar pencapaian keluarga, itu adalah bukti bahwa cinta dan pengorbanan bisa menembus batas sistem yang tidak adil,’kisahnya.

Dia bilang ayahnya tidak pernah berbicara tentang keadilan sosial, tapi seluruh hidupnya adalah bentuk perlawanan terhadap ketimpangan. Dia tidak membaca teori pembangunan, tapi ia membangun masa depan anak-anaknya dengan tenaganya sendiri. Bagi Fitriani ayahnya adalah wajah dari keberanian, keteguhan, dan harapan. Dia berharap suatu hari, perjuangan seperti bapaknya tidak lagi menjadi syarat untuk anak-anak nelayan bisa bersekolah. Karena pendidikan adalah hak, bukan perjuangan yang harus dibayar dengan seluruh hidup seorang bapak.(*)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *