Penulis :Agustinus J.E. Mawara
Daerah Halmahera Maluku Utara pada masa lampau penduduknya terlibat dalam perang antar Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore. Sebagian penduduk Halmahera berpihak kepada Ternate dan sebagian lain berpihak kepada Tidore. Peperangan yang sering terjadi antar kedua kesultanan untuk menunjukan pengaruhnya, membuat masyarakat menjadi korban. Sebagian penduduk memilih migrasi ke pulau-pulau terdekat mencari tempat tinggal baru yang lebih aman. Termasuk kelompok orang Sawai yang bermigrasi dari Halmehera ke Raja Ampat, kemudia pindah ke pesisir Seram Utara.
Tulisan ini merupakan hasil penilitian yang dilakukan untuk mengetahui sejarah migrasi kelompok orang Sawai di Seram Utara dan bagaimana sikap pembawaan mereka (orang Sawai) terhadap penduduk lokal di wilayah Seram Utara yang menerima mereka dan membangun perkampungan Sawai. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Metode Kulitatif.
Hasil penelitian menunjukan perkampungan orang Sawai di wilayah Seram Utara Maluku Tengah, kini telah berkembang dan masyarakatnya secara sosial politik lebih mendominasi atas masyarakat lokal sehingga berani mengklaim hak-hak adat masyarakat lokal sebagai milik orang Sawai.
PENDAHULUAN
Berdasarkan sejarah lisan, sebelum terbentuknya perkampungan orang Sawai di negeri Sawai sekarang ini, sudah ada orang-orang asli Seram atau orang-orang yang sejak awal tinggal di wilayah Tanah Seram. Yang dikenal dengan disebutan orang Alifuru, tinggal mendiami tempat tersebut. Wilayah pegunungan di belakang Negeri Sawai pada masa lampau terdapat tempat tinggal orang-orang Masihulan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pasipulane.
Sawai adalah nama salah satu komunitas masyarakat adat di daerah Halmahera, Maluku Utara. Diketahui dari literatur sejarah, maupun berdasarkan sejarah tutur yang diceritakan masyarakat Raja Ampat, bahwa kelompok orang Sawai bermigrasi dari daerah asalnya di Halmahera ke daerah Raja Ampat, Papua (Papua Barat Daya). Lalu membangun perkampungan mereka yang diberinama “Yensawai.” Namun mereka (orang Sawai) kala perang melawan salah satu pemimpin Papua yang terkenal yaitu Sekfamneri atau Gurabesi, maka orang-orang Sawai diusir keluar dari wilayah Raja Ampat.
Salah seorang misionaris Belanda, Pdt. Dr. F.C. Kamma, telah melakukan penelitian terkait pelayanan gereja dan kebudayaan, serta relasi Papua dan Maluku. Ditulis dalam bukunya, Ajaib Dimata Kita, bahwa orang-orang Sawai bermigrasi dari Halmahera ke Raja Ampat, tetapi mereka kalah perang dengan pasukannya Sekfamneri atau Gurabesi, sehingga mereka diusir keluar daerah Raja Ampat, disuruh kembali ke Halmahera, tetapi kemudian kelompok orang Sawai tersebut pindah ke pesisir Seram Utara.
Sekfamneri atau dengan nama lain Gurabesi adalah pemimpin orang Papua yang sangat disegani karena kesaktiannya, dia memimpin para perompak atau bajak laut asal Biak – Numfor, dan melakukan pelayaran luas ke berbagai wilayah. Dalam bukunya Ajaib Di Mata Kita Jilid I, F.C. Kamma menulis, Orang Biak dan Numfor dahulu melakukan pelayaran-pelayaran sampai jauh ke pulau-pulau Maluku, bahkan Gorontalo (Sulawesi Utara) dan Timor disebut-sebut pula. Juga Seram, Nusa Laut, Buru dan Salayar dikunjungi. (Kamma 1981, hal : 60).
F.C Kamma memperkirakan adanya hubungan kekerabatan antara orang Biak dan orang Sawai di Halmahera. Sepereti dijelaskan dalam tulisannya bahwa pada pertengahan abad ke-15 orang-orang Biak dan Numfor sampai ke Barat (Kepulauan Maluku), sedangkan orang-orang Biak telah mengunjungi Tidore. Mungkin salah satu klan mereka inilah, yaitu orang Sawai, yang menetap di Halmahera dan kemudian di Seram Utara. (Kamma 1981, hal : 60).
Metode Penelitian :
Menunjang penelitian artikel ini metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, atau pengamatan, terhadap objek penelitian di wilayah Seram Utara, Maluku Tengah. Fokus lokasinya di Desa Sawai, Masihulan dan Rumaholat. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data antara lain: Tinjauan pustaka, wawancara dan pengamatan. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini, juga sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting); disebut juga sebagai metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka. (Sugiyono. 2013, hal : 8, 13).
Sumber kepustakaan diambil dari tulisan-tulisan terdahulu yang relevan dengan penelitian artikel ini, selanjutnya dilakukan analisa untuk mencocokkan keakuratan cerita masyarakat dengan data pustaka tentang sejarah migrasi kelompok orang Sawai dari Halmahera, Maluku Utara. Kemudian guna pendalaman sumber sejarah lisan yang masih ada dalam ingatan kolektif masyarakat, dilakukan wawancara dengan masyarakat dan beberapa informan yang lebih mengetahui sejarahnya.
Selain itu dilakukan juga pengamatan lapangan secara mendalam terhadap pola kehidupan dan interaksi sosial masyarakat setempat yang dilakukan sehari-hari, untuk mengetahui hubungan sosial politik, apakah ada dominasi sosial kelompok tertentu.
MIGRASI ORANG-ORANG SAWAI
- Alasan Orang-Orang Sawai Bermigrasi Keluar Halmahera :
Ingin mencari tempat tinggal yang aman dan membangun perkampungan yang baru, menjadi alasan orang-orang Sawai bermigrasi dari Halmahera ke wilayah terdekat. Sebab masa itu terjadi perang antara dua kesultanan, yaitu Ternate dan Tidore untuk menunjukan hegemoni kekuasaan dan memperluas wilayah kekuasaannya sehingga akibatnya masyarakat menjadi korban.
Kampung Sawai di Halmahera turut menjadi sasaran perebutan, kesultanan Ternate dan Tidore. Sultan Tidore berusaha melebarkan kekuasaannya hingga ke Halmahera. Akibat pertikaian itu, orang Sawai melarikan diri. Sebagian dari mereka bermigrasi ke Seram Utara. (Usmany Desy P. dkk, 2016, hal : 65).
Kehidupan ditengah peperangan dua penguasa kesultanan Ternate dan Tidore, membuat orang-orang Sawai selalu waspada, dan Ketika bermigrasi ke daerah terdekat mencari tempat yang aman, mereka selalu mempersiapkan diri menghadapi ancaman musuh. Itulah yang terjadi di daerah Raja Ampat, pertikaian antara kelompok migran Sawai dan Biak-Numfor.
Dituturkan bahwa terjadi pertikaian antara kelompok orang Sawai dengan kelompok orang-orang pertama yang menetap di daerah itu, seperti Omkai dan Besew. Orang Sawai berusaha menguasai daerah itu. Sekfamneri sebagai seorang tokoh Biak-Numfor yang sangat disegani karena kesaktiannya, berhasil mengusir kelompok orang Sawai yang menyerang itu keluar dari Raja Ampat ke Halmahera. Ia bahkan mengawasi mereka hingga ke Halmahera. Di Halmahera, orang Sawai berusaha mempertahankan diri dengan bantuan tetangganya orang Patani. Namun dengan kesaktiannya Sekfamneri dapat menghancurkan pertahanan mereka. Kemenangan ini dirayakan di Bukorsawai yang artinya “tengkorak Sawai” (Muridan S Widjojo, Disertasi, 2007, hal : 118).
Perkiraan F.C. Kamma bahwa kemungkinan ada hubungan kekerabatan antara orang Biak dan orang Sawai yang menetap di Halmahera kemudian di Seram Utara. (Kamma 1981, hal : 60). Selain karena alasan orang Biak perna mengunjungi orang Sawai di Halmahera pada pertengahan abad ke-15, kemungkinan alasan lainnya adalah terkait dengan kisah Sejarah banjir besar pada zaman dahulu yang melanda pemukiman klen Sawai di kampung Bedare Sorong Selatan, yang menghanyutkan rumah-rumah penduduk serta pohon-pohon sagu yang tumbang hanyut terbawa banjir. Banyak penduduk hanyut terseret banjir, mereka berusaha menyelamatkan diri dengan berpegangan pada batang pohon sagu yang hanyut, derasnya arus banjir menghanyutkan mereka ke laut lepas. Hingga akhirnya sebagian dari mereka terdampar di Halmahera dan sebagian lainnya terdampar di Biak. Keturunan klen Sawai di daerah Sorong Selatan masih ada sampai sekarang dan mereka tetap menggunakan nama marga Saway (Sawai).
Terkait migrasi kelompok orang Sawai di Raja Ampat, menurut cerita masyarakat setempat berdasarkan sejarah tutur bahwa kedatangan orang-orang Sawai dari Halmahera ke Raja Ampat, terjadi dua kali. Pada periode pertama mereka datang tinggal dan berusaha menguasai wilayah sekitarnya, sehingga terjadi pertikaian atau peperangan antara kelompok orang Sawai dengan kelompok Biak–Numfor yang dipimpin Sekfamneri, dan dimenangkan oleh Sekfamneri dan pasukannya. Maka orang-orang Sawai disuruh keluar dari wilayah Raja Ampat Kembali ke Halmahera, dan dikawal oleh Sekfamneri dan pasukannya.
Beberapa waktu berlalu, pada periode kedua kelompok orang Sawai Kembali lagi ke Raja Ampat, namun mereka di halau oleh Sekfamneri, sehingga orang-orang Sawai melanjutkan pelayaran mereka ke daerah Seram. Hingga kemudina diketahui mereka membangun perkampungannya di pesisir Seram Utara. Bekas perkampungan orang Sawai di Raja Ampat, yaitu Kampung Yensawai, kini dihuni oleh orang-orang Biak.
- Membangun Perkampungan Baru di Seram Utara :
Kelompok orang Sawai yang bermigrasi dari Halmahera ke Raja Ampat, kemudian karena kalah perang dengan kelompok orang Biak-Numfor yang dipimpin Sekfamneri atau nama lainnya Gurabesi, mereka terusir keluar dari daerah Raja Ampat, selanjutnya kelompok orang Sawai berlayar ke Seram Utara dan membangun perkampung di Desa Sawai sekarang ini.
Berdasarkan penuturan sejarah diketahui bahwa di lokasi Desa Sawai sekarang ini pada masa lampau hanya dihuni oleh satu keluarga dari klen (marga) Maatoke. Hingga kemudian datang kelompok migran Sawai dari Halmahera, mereka diterima untuk tinggal disini bersama-sama. Suatu hari datang orang-orang Pasipulane atau Masihulan yang pemukiman mereka berada di daerah pegunungan sekitar tempat tersebut. Ketika melihat ada sekelompok orang Pasipulane yang datang kearah mereka, orang-orang Sawai berkata satu sama lain diantara mereka menggunaka bahasa Sawai, “Ma sisi hulan” yang artinya : mereka itu datang kemari, atau datang kesini. Akhirnya kata Masisihulan atau Masihulan dipergunakan untuk menamai kelompok orang Pasipulane tersebut.
Tidak dituturkan apa tujuan orang-orang Pasipulane (Masihulan) datang kesitu, tetapi merujuk pada tradisi kekerabatan di daerah Seram secara umum yaitu saling mengunjungi, bersilaturahmi antara suatu kerabat terdekat, maka kemungkinan orang-orang Pasipulane (Masihulan) yang datang ke tempat tersebut untuk mengunjungi kerabat keluarga Maatoke. Sebab di kelompok mereka ada juga marga Maatoke, dan masih ada hingga kini marga Maatoke di Negeri Masihulan sedangkan di Negeri Sawai sekarang ini sudah hilang marga Maatoke, selaku kelompok pertama yang mendiami daerah tersebut.
Versi lain juga menyebutkan di daerah tersebut dahulu tinggal dua keluarga masing-masing dari klen (marga) Maatoke dan Lesy. Kemudian datang leluhur marga Musiin dan Ipaenin, yang berasal dari Arab, mereka diterima tinggal di tempat ini bersama-sama. Hingga datang kemudian kelompok yang besar yaitu orang-orang Sawai dari Halmahera, lalu tinggal disini dan membangun perkampungan bersama. Dominasi kelompok Sawai mulai terlihat ketika nama kampung tetap menggunakan nama Sawai.
Perjumpaan orang-orang Pasipulane atau yang kemudian dikenal dengan nama Masihulan dengan orang-orang Sawai kala itu, adalah titik awal kedua kelompok ini membangun hubungan kekerabatan. Sebab selanjutnya di antara mereka terjadi kesepakatan saling berdampingan membangun satu negeri bersama antara Soa Sawai dan Soa Masihulan, yang dipimpin masing-masing kepala soa. Kesepakatan itu kemudian diikat secara adat yaitu sebagai penopang didalam rumah adat Sawai terdapat Tiang Soa Masihulan dan Tiang Soa Sawai.
Orang Sawai menyebut rumah adatnya dengan nama “Salaola” sedangkan orang Masihulan menyebutnya “rumah basar” (besar). Secara tradisi orang Seram maupun masyarakat Maluku Tengah secara umum, sebutan rumah besar mengandung makna filosofis yaitu sesuatu yang sakral tersimpan di rumah itu dan tidak boleh dilanggar. Sebagai contoh nilai tradisi tersebut yang diterapkan dalam pelayanan gereja bagi Umat Protestan di daerah Maluku, ketika mempersiapkan diri masuk dalam Ibadah Perjamuan Kudus, mereka katakana persiapan mau masuk Gereja Basar (besar). Itu artinya ada sesuatu yang sakral dan tidak boleh dilanggar.
Perkembangan pada masa-masa selanjutnya desa Sawai menjadai daerah terbuka yang sering dikunjungi para pedagang dari luar Maluku, membuat Sawai berkembang menjadi negeri yang besar dan menjadi pusat perekonomian di kawasan ini. Di sisi lain, sistim pemerintahan tradisional yang sebelumnya dipimpin oleh seorang kepala soa, mengalami perubahan. Masyarakat Sawai membentuk sistim pemerintahan yang baru, dipimpin oleh seorang raja, dan secara struktur kepala soa berada dibawa raja. Dengan demikian posisi desa Masihulan yang awalnya sejajar dengan Sawai, kini menjadi desa bawahan dari negeri Sawai dan tetap dipimpin oleh seorang kepala soa.
Hingga tahun 1980-an di desa Masihulan masih dipimpin oleh kepala soa. Kemudian ada perubahan Masihulan dipimpin oleh seorang kepala desa / kepala dusun. Selanjutnya dalam perkembangan sistim pemerintahan desa secara nasional, mendorong desa Masihulan dimekarkan dari desa induk Sawai, maka sekarang ini Masihulan telah mandiri menjadi desa administratif, yang dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan negeri (KPN), dan dibantu oleh sejumlah perangkat desa.
- Merangkul Untuk Menguasai :
Misi menguasai wilayah di daerah Raja Ampat oleh para migra Sawai, gagal karena kalah perang dengan Sekfamneri, maka untuk kali kedua misi tersebut dilaksanakan lagi di daerah Seram Utara. Dengan strategi yang berbeda, tidak secara konfrontasi, perang terbuka seperti yang dilakukan sebelum di daerah Raja Ampat, kali ini dilakukan secara persuasif. Orang Sawai berusaha merangkul masyarakat adat yang perkampungannya dekat kampung Sawai, terutama masyarakat adat Masihulan dan Rumaholat.
Kala itu, pesisir Seram Utara yang didiami para migra Sawai adalah tempat yang masih asing bagi mereka. Sehingga untuk kebutuhan hidup sehari-hari mereka belum bisa masuk jauh kedalam hutan mencari bahan makanan, maka solusinya harus membangun hubungan baik dengan penduduk lokal disekitar pemukiman orang Sawai agar bisa mendapatkan bahan makanan. Disisi lain mereka menjalin hubungan baik dengan penduduk lokal setempat agar oran-orang Sawai dapat bebas membuka lahan kebun.
Terkait kebutuhan pangan, sudah kebiasaan sejak dahulu orang Sawai memperoleh hasil-hasil kebun dan sagu dari orang Masihulan dan Rumaholat, dengan cara barter. Hingga kini meskipun uang sudah menjadi alat tukar jual beli, tetapi diantara mereka orang Sawai, Masihulan dan Rumaholat masih sering melakukan barter. Misalnya orang Sawai membawa ikan hasil tangkapannya lalu tukar dengan hasil kebun dari orang Masihulan atau Rumaholat. Hal ini terutama bagi mereka yang sudah menjalin hubungan persahabatan sejak orang tua-tuanya terdahulu. Barter dalam konteks ini bukanlah soal nilai ekonomi tetapi nilai persahabatan yang tetap dijunjung.
Seiring waktu berganti lambat laun, kelompok migran Sawai sudah terbiasa dengan alam sekitarnya dan mengenal tempat-tempat meramu mencari bahan makanan. Orang-orang Sawai membuka kebun, menanam jenis tanaman pertanian dan tanaman perkebunan atau biasa disebut tanaman umur panjang, terutama tanaman cengkeh. Lahan kebun yang digarap meluas hingga masuk ke wilayah hak ulayat masyarakat adat Masihulan dan Rumaholat.
Secara umum dalam tradisi masyarakat Seram dimasa lampau khususnya masyarakat Masihulan dan Rumaholat, apabila ada orang yang bertengkar hanya karena sebidang tanah, hal itu merupakan sesuatu yang memalukan. Dalam pandangan orang tua-tua dulu bahwa hutan dan tanah di Pulau Seram masih luas, jadi jangan bertengkar gara-gara sebidang tanah.
Dalam tradisi orang Masihulan dan Rumaholat, apabila ada orang baru yang datang dan diterima sebagai bagian dari komunitas masyarakat adat Masihulan ataupun Rumaholat, maka mereka diberi hak makan di wilayah petuanan adat atau hak ulayat negerinya tetapi bukan menjdi hak milik. Kecuali lahan pada suatu wilayah petuanan marga atau milik klen tertentu kemudian diberikan menjadi hak milik kepada seseorang yang diterima masuk menjadi bagian dari keluarga tersebut.
Sistem sosial seperti inilah yang membuat orang-orang Sawai dapat leluasa masuk ke hak ulayat Masihulan dan Rumaholat. Karena mereka sudah menerima orang Sawai sebagai saudara atau bagian dari keluarga dalam komunitasnya, dan disisi lain ketulusan mereka menerima orang Sawai dimanfaatkan masyarakat Sawai untuk perlahan-lahan menguasai wilayah petuanan adat Masihulan dan Rumaholat.
Hal lainnya adalah penuturan Sejarah dari para tua-tua negeri Sawai kepada generasi dibawahnya tidak memberitahukan sesuai fakta keberadaan orang Sawai di Seram Utara dan hubungan relasinya dengan orang Masihulan dan Rumaholat. Akhirnya ketika orang tua-tua Sawai sudah tiada, para kaum muda mengklaim yang bukan miliknya menjadi miliknya atau milik orang Sawai. Sehingga fakta sekarang ini, secara administratif negeri Sawai menjadi desa induk bagi Masihulan dan Rumaholat lebih memperkuat alasan masyarakat negeri Sawai mengklaim bahwa Desa Masihulan dan Rumaholat berada dalam wilayah petuanan adat negeri Sawai.
Perkembangan selanjutnya terkait dengan pemerintahan desa, adanya kebijakan secara nasional yang memungkinkan desa bawahan atau anak dusun bisa mandiri secara administratif, dimekarkan dari desa induk. Maka kini Masihulan telah mandiri menjadi desa administratif. Sedangkan Rumaholat belum dimekarkan oleh Sawai selaku desa induk, karena alasan orang Rumaholat tidak mau tandatangan surat pernyataan bahwa desa Rumaholat berada didalam wilayah petuanan adat Negeri Sawai.
Bagi masyarakat Rumaholat meskipun desa mereka tetap dengan status anak dusun atau desa bawahan dari desa induk Sawai tidak apa-apa, sebab tidak mungkin mau buat surat pernyataan mengakui Desa Rumaholat berada didalam wilayah petuanan adat Sawai, justru sebaliknya masyarakat Sawai yang sudah ambil sebagian wilayah petuanan adat Rumaholat.
Mencermati sikap agresif orang Sawai mengkalim orang Masihulan dan Rumaholat tinggal didalam wilayah petuanan adat Sawai adalah bentuk mencari pengakuan dari luar tentang kedudukan Sawai sebagai negeri adat di Seram Utara, dan melemahkan posisi Masihulan dan Rumaholat atas hak adatnya dan identitas jati dirinya sebagai orang Seram.
Padahal didalam petuanan adat Masihulan dan Rumaholat yang telah diklaim sebagai milik negeri Sawai, terdapat tempat-tempat sakral mereka yang menyimpan sejarah perjalanan leluhur dimasa lampau. Serta tempat-tempat yang menyimpan suatu nilai budaya dan sejarah. Contohnya, didalam ulayat petuanan adat Masihulan terdapat tempat bernama “Soya,” yang memiliki cerita sejarah perjalanan leluhur masyarakat Soya di Pulau Ambon. Apabila tempat ini diklaim sebagai milik negeri Sawai, maka nilai sejarhnya menjadi kabur.
Sikap lain yang ditunjukan masyarakat Sawai untuk melegitimasi orang Sawai asli Pualu Seram, yaitu membuat cerita menyesuaikan dengan sejarah di Pulau Seram tentang patai siwa (pata siwa), patai rima (pata lima) bahwa orang Sawai merupakan kelompok pata lima. Faktanya,orang Sawai merupaka kelompok uli lima di Maluku Utara bukan pata lima di Seram. Sejarah uli siwa dan uli lima di Maluku Utara berbeda dengan sejarah patai siwa (pata siwa), patai rima (pata lima), di Seram.
Sesuatu yang tidak dapat dipungkiri juga adalah, dari sisi budaya dan linguistik orang Sawai berbeda dengan orang Seram asli yang perjalanan sejarah dan akar budayanya tumbuh di Tanah Seram. Misalnya dari sisi budaya, rumah adat orang Seram adalah baileo. Kemudian antara kelompok pata siwa dan pata lima bentuk baileonya berbeda. Sedangkan di Negeri Sawai rumah adatnya adalah salaola, bukan baileo. Berikutnya dari sisi linguistik, di Pulau Seram terdapat dua rumpun bahasa yaitu bahasa wemale dan bahasa alune. Sedangkan bahasa Sawai tidak tergolong dalam dua rumpun bahasa dimaksud.
Tentang kelompok bahasa wemale dan bahasa alune, penulis belum menemukan literatur hasil penelitian para ahli untuk dapat memastikan apakah kelompok bahasa wemale dan alune, merupakan bagian dari rumpun besar bahasa Astronesia ataukah Non-Astronesia. Sebaliknya di wilayah Maluku Utara sudah ada penelitian linguistik yang bisa menjadi referensi, dan diketahui bahasa Sawai adalah bagian dari keluarga bahasa Weda di Halmahera, yang merupaka salah satu sub rumpun bahasa Astronesia.
Pakar linguistik, Blust, membagi rumpun bahasa Astronesia atas dua kelompok besar yaitu (i) bahasa-bahasa yang ada di Pulau Formosa, yaitu Atayalic, Tsouc, dan Paiwanci. (ii) kelompok bahasa diluar Pulau Formosa, yaitu Melayu Polenesia. Kemudian dibagi lagi Melayu Polenesia menjadi tiga kelompok, yaitu (a) Melayu Polenesia Barat, (b) Melayu Polenesia Tengah, (c) Melayu Polenesia Timur. Keluarga bahasa Melayu Polenesia Timur terdiri dari tiga kelompok keluarga bahasa (stock), yaitu (i) keluarga bahasa di Halmahera Barat Daya yang terdiri dari sub-keluarga bahasa Makian Timur dan Gane, serta sub-keluarga bahasa Weda yang terdiri dari bahasa Weda dan Sawai; (ii) keluarga bahasa Halmahera Tenggara, terdiri dari bahasa Patani, Maba, dan Buli; serta (iii) bahasa Gebe di Papua. (Blust dalam Kleden Ninuk, 2015, hal : 357,358).
- Trauma Peperangan di Halmahera :
Orang-orang Sawai kala itu meskipun sudah jauh tinggalkan Halmahera, tetapi bayang-bayang perang antara kesultanan Ternate dan Tidore yang mengorbankan masyarakatnya, masih saja terus menghantui. Sehingga ketika mendengar informasi bahwa armada pasukan Tidore akan menyerang, Sawai di pesisir Seram Utara, walaupun itu belum tentu benar namun masyarakat Sawai sudah panik, dan mengungsi ke hutan.
Sawai sebagai daerah terbuka dan sering disinggahi para pedagang, membuat daerah ini berkembang menjadi pusat ekonomi baru, dan tidak luput dari pantauan sekutu-sekutu Kesultanan Ternate maupun kesultanan Tidore. Suatu penuturan sejarah masyarakat setempat menceritakan bahwa, dahulu masyarakat Sawai perna mengungsi ke dusun Salawai (dusun/kebun sagu di Salawai) karena ada ancaman dari pihak kesultanan Tidore apabila orang Sawai masih menjalin hubungan kerjasama dengan pihak Belanda maka mereka akan diserang oleh armada perang Tidore.
Mereka yang mengungsi di dusun Salawai akhirnya pulang ke kampung Sawai, setelah kabar yang disampaikain orang-orang Horale dari kampung Hatu’eila atau Hatuwei bahwa keadaan aman-aman tidak seperti yang dikuatirkan, dan sudah ditempatkan petugas keamanan oleh pihak Belanda di Negeri Sawai.
Diketahui bahwa perkampungan Negeri Horale pada masa lampau terdiri dari Horale Rumahreat, Horale Kolalinye, dan Horale Hatu’eila atau sering juga disebut Hatuwei, yang merupakan kelompok orang Horale Kolalinye yang lebih awal turun dari daerah pegunungan ke wilayah pesisir membangun perkampungannya.
KESIMPULAN
- Sawai mempunya sejarah panjang sejak leluhur mereka berada di Halmahera hingga migrasi ke Seram Utara. Maka untuk menceritakan sejarah orang Sawai haruslah di pisah antara fase ketika leluhurnya masih berada di daerah Halmahera, dan fase ketika leluhur orang Sawai membangun pemukiman baru di Seram Utara atau di Negeri Sawai sekarang. Apabila kisah-kisah sejarah masa lampau yang terjadi pada fase leluhur Sawai berada di Halmahera, digabungkan kisahnya dengan fase leluhur Sawai sudah bermigrasi ke Seram Utara, seolah-olah kisah tersebut terjadi di Negeri Sawai sekarang, maka sejarah sesungguhnya akan menjadi kabur, sebab orang beranggapan Sawai di Seram Utara adalah desa tua yang sudah ada sejak zaman kuno.
- Orang-orang Masihulan dan Rumaholat adalah bagian dari masyarakat adat di Pulau Seram yang memiliki wilayah petuanan adat warisan leluhurnya, serta memiliki hubungan kekerabatan dengan kelompok masyarakat lainnya di Pulau Seram. Hal ini dapat dilihat dari kesamaan marga dan bahasa (Wemale, Alune) antara orang Masihulan dan Rumaholat dengan orang-orang di kampung lain di wilayah Pulau Seram.
DAFTAR PUSTAKA
Kamma Freerk Ch. 1981. Ajaib di Mata Kita. Seri Gereja, Agama dan Kebudayaan Indonesia, BPK Gunung Mulia, diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer dan dr.Th.van den End.
Muridan S. Widjojo. 2007. Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistance in Maluku during the Revolt of Prince Nuku, 1780-1810, Disertasi.
Probonegoro Kleden N. dkk. 2015. Diaspora Melanesia di Nusantara. Potret Bahasa-bahasa Maluku Utara dan Representasi Melanesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R dan B, Bandung : Alfabet
Usmany Desy P. dkk. 2016. Identifikasi Transportasi Laut di Kabupaten Biak Numfor Sampai Abad 21. Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua, Yogyakarta : Amara Books.










