Halmaherapedia— Minggu (21/8/2025) lalu, sejak pagi hingga jelang siang,Joko Nugroho (55) mengawasi dua pekerja bersama istri dan satu anak perempuan nya panen batatas atau umbi jalar, di kebun miliknya.
Di lahan seluas 50×50 meter persegi di desa Sidodi Goal Sahu Timur Halmahera Barat itu, Joko mengembangkan batatas yang tidak sekadar dimakan tetapi juga jadi pangan lokal penting bagi masyarakat. Tidak itu saja tanaman ini sekaligus menjadi sumber ekonomi penting keluarga. Tidak hanya Joko dan keluarganya, tetapi juga tetangganya di kampung itu menjadi pekerja membantu Joko merawat dan memanen batatas.
Usaha menanam batas Joko Nugroho ini, Bisa dibilang tidak sekadar mengembangkan pangan lokal tetapi jug telah jadi profesi yang digeluti dalam tiga tahun terakhir.
“Awalnya bertanam sayur mayur. Setelah itu beralih tanam jagung, karena hasil jagung per hektar hanya bisa dapat Rp2 juta, saya ikut nanam batatas untuk tanaman sela jagung. Ternyata setelah panen hasil batatas lebih bagus. Akhirnya saya menetapkan menanam batatas atau umbi jalar ini. Waktu itu sekali panen bisa dapat Rp8 juta ,” kisah Joko. Dari pengalaman itu pangan lokal ini terus ditanam.
Hari itu Joko dan keluarganya panen batatas yang telah berusia kurang lebih 4 bulan. Hasil panen batatas itu selanjutnya dikirim ke luar Halmahera Barat seperti Ternate, Halmahera Tengah hingga ke Maluku Tenggara. Panen hari itu diperoleh hasil 110 karung batatas. Harga per karungnya dijual antara Rp180ribu hingga Rp200 ribu. Batatas yang sudah dikarungkan itu juga sudah ada pemesannya terutama para pedagang pengumpul. Ada 10 pedagang pengumpul telah memesan dan tinggal datang dengan alat transportasi untuk diangkut ke Jailolo Ibukota Halbar, selanjutnya dibawa ke Kota Ternate, Halmahera Tengah dan beberapa wilayah lain di Maluku utara.
Diakuiya, produksi batatas yang ia tanam ini tidak mencukupi permintaan pasar. Pasalnya setiap hari permintaan sangat banyak.
“Saya tidak hanya memenuhi permintaan di Maluku Utara tetapi juga di luar Maluku Utara. Ada pedagang di Maluku Tenggara minta kita kirimkan 40 karung setiap ada trayek kapal. Kita tidak mampu penuhi secara keseluruhan permintaan mereka,”katanya.
Tingginya permintaan dapat disaksikan saat proses panen hari itu, meski sudah habis dibagi sesuai permintaan pemesan, masih ada pembeli yang datang. Saat batatas dikarungkan, ada warga yang lewat dengan mobil turun dan mau membeli dua karung untuk kebutuhan acara di kampung mereka. Hanya saja Joko beralasan yang dikarungkan itu sudah ada pemesan tinggal pemiliknya datang dan diangkut ke pasar. “Kalian lihat sendiri kan permintaan pasarnya. Setiap panen selalu tidak mencukupi permintaan pasar,” kata Joko saat itu.
Memang hamparan luasan kebun terbilang terbatas, di tengah tingginya permintaan pasar akan kebutuhan pangan lokal batatas. Total luas lahan yang ditanami Joko kurang lebih 2 hektar. Lahan seluas itu dibagi dalam empat lahan kecil berukuran 5×50 meter. Dari 4 petak lahan itu ditanam secara bergilir. Tujuannya proses penennya juga berkelanjutan. Jadi jika lahan pertama ditanam maka dua bulan kemudian lahan berikutnya dan seterusnya. Dengan begitu stok batatas yang ditanam akan terus ada dan bergiliran. “Cara ini dilakukan agar panen batatas terus berkesinambungan. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga stok produksi dan memenuhi permintaan pasar yang terbilang sangat tinggi,” ujarnya.
Memanfaatkan Bibit Lokal dengan Pupuk Organik
Ada yang menarik dari upaya penanaman batatas ini. PasalnyaJoko benar benar mengembangkan bibit sendiri dari lahan miliknya, yang juga adalah batatas lokal. Bibit lokal ini dikembangkan sejak awal sekira 2022 lalu. Dia cerita, saat mulai menggeluti menanam batatas ini, dia kesulitan bibit karena tidak dijual di toko-toko pertanian. Karena itu dia mengembangkan sendiri dari bibit lokal yang biasanya ditanam para petani setempat.
Dari sanalah, dia terus menerus menanam bibit tersebut. Penanaman secara bergilir ini juga karena terbentur masalah bibit karena tidak ada di tempat lain atau dijual di toko. Saat tanaman berusia 2,5 bulan kita ambil bibit dari tanaman yang ada di lahan untuk ditanam di petakan lahan baru. Dia cerita, awal mendapatkan bibit ini dari umbi jalar lokal yang ditanam para petani setempat secara turun temurun.
Hal ini sesua kebiasaan warga suku Tobaru maupun Sahu dua etnis asli di Halmahera Barat, yakni di kebun mereka biasanya batatas ini jadi tanaman sela di antara tanaman pangan yang lain. Batatas ini hanya sebagai pangan tambahan umbi-umbian dengan keladi. Tidak itu saja mereka juga menanamnya secara terbatas. Tidak diusahakan secara massal dengan cakupan lahan yang sangat luas.
Dari bibit yang ada itu, secara perlahan terus dikembangkan sampai sekarang. Ada empat aksesi atau sampel batatas lokal yang dikembangkan, yakni warna tinta, (ungu,red), oranye daun jari-jari, kuning daun jari-jari serta putih daun lebar.
Tidak hanya menggunakan bibit lokal, dalam hal olah tanah juga menggunakan kompos. Selain itu juga menggunakan sistem mengistirahatkan lahan yang telah digunakan selama setahun untuk mengembalikan kesuburannya. Untuk mengistirahatkan lahan mengembalikan kesuburan tanah itu dengan kompos dan dibiarkan selama setahun setelah itu ditanami kembali. Dia bilang untuk menanam batatas tidak bisa menggunakan pupuk sembarangan karena berdampak pada hasilnya. Misalnya pernah dicoba gunakan pupuk tapi ternyata bukan umbi yang dihasilkan ternyata lebih banyak daun ketimbang umbi. Dari situ, berhenti sama sekali menggunakan pupuk. Tidak itu saja untuk bibi lokal yang ditanam terbilang tahan penyakit. Pasalnya belum ditemui ada penyakit yang merusak tanaman yang diusahakan. Bibit lokal yang dikembangkan ini juga tahan terhadap penyakit. Meski begitu diakui hal yang paling menentukan itu berkaitan dengan iklim. Jika iklim nya seimbang maka hasil panen juga baik. “Iklim seimbang itu sangat menentukan. Tanaman ini katanya tidak terlalu banyak butuh air.Karena itu di petakan lahannya dibuat larikan untuk mengalirkan air saat hujan. Jika airnya melimpah akan menyebabkan busuk pada umbinya.
Pangan lokal batatas yang dikembangkan Joko sebenarnya juga menghadapi kendala pada ketersediaan alat produksi. Salah satunya fasilitas pengangkutan. Saat ini Joko tidak punya alat angkutan seperti kendaraan roda tiga yang biasa digunakan mengangkut hasil pertanian. Joko setiap kali panen harus menyewa alat angkutan truk mini untuk mengangkut hasil panen yang ada. Sekali angkut per karung dihitung Rp20 ribu. Karena itu Joko berharap ada perhatian pemerintah untuk bisa membantunya pengadaan alat angkut berupa motor tiga roda sehingga bisa mengurangi ongkos produksinya. “Saat ini kami memang belum mendapatkan bantuan dalam bentuk sarana produksi pertanian. Karena itu berharap ada bantuan yang bisa diberikan pemerintah membantu kami mengembangkan usaha yang dikelola ini. Selain sebagai usaha juga membantu mengembangkan pangan lokal di daerah ini,” harapnya. Harapan ini ditujukan untuk Pemkab Halmahera Barat maupun Provinsi Maluku Utara.(*)